Within a month, world crude oil prices, both WTI and Brent, continue to rise. For Indonesia, oil price trends are actually a dilemma. On the one hand, Indonesia has become an importer of oil, while on the other hand, the Indonesian economy is still dependent on commodity sectors whose prices are sometimes influenced by crude oil price sentiment.
The price of Brent crude oil on Friday (19/1) for March 2018 shipping contract was 68.5 US dollars per barrel. The WTI crude oil for February 2018 was recorded at 63.25 US dollars per barrel.
The rise in world crude oil prices was partly triggered by production restrictions among member countries of the Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC). Fluctuations in crude oil prices are inevitable.
Crude oil prices reached 115 dollars per barrel by mid 2014. However, six months later plunged to 50 dollars per barrel. In January 2016, the price plunged again to 28 US dollars per barrel. When crude oil prices are in a downward trend and are approaching 50 dollars by the end of 2014, the government's policy to revoke the premium subsidies and provide a fixed subsidy of Rp 1,000 for diesel runs smoothly. Relatively no turmoil. This is very different from the previous regimes which always face the challenges of reducing fuel subsidies.
The impact of rising fuel prices after subsidized reductions becomes a difficult choice for the government. However, the government faces another bigger problem when world crude oil prices fall.
Admittedly, Indonesia is still heavily dependent on the commodity sector until now even though the manufacturing industry's blueprint has been launched. Commodity prices, including those of Indonesia's main export, depend not only on the market mechanism of supply and demand laws but also on sentiment.
So far, sentiment that could affect the price of commodities is the trend of world crude oil prices. As crude oil prices rise, commodity prices go up. Vice versa. When the blueprint was launched, the government hoped that Indonesia could be detached from its dependence on commodities as repeatedly Indonesia experienced Dutch Disease.
The economic phenomenon in the form of industrial sector decline due to the discovery of abundant natural resources that first appeared in the Netherlands in 1977 was repeatedly experienced by Indonesia.
Initially we experienced the economic illness when found oil and gas reserves abundant in the 1980s, then coal minerals, and the last is crude palm oil.
Indonesia's dependence on the commodity sector is reflected in export performance and "gross domestic product" of a number of commodity-producing regions. In 2012 Indonesia's total exports recorded 156.89 billion US dollars with non-oil contribution of 132.585 or 84.6 percent of total exports.
Non-oil exports were supported by animal / vegetable fats and oil products 22.97 billion US dollars (15 percent) and mineral fuel 21.07 billion US dollars (13.77 percent).
The majority of non-oil and gas export destinations are industrialized countries, which further reinforces that non-oil and gas exports are still commodities. These countries include China with 21.32 billion US dollars; United States 121 billion US dollars; EU 16.29 billion US dollars; and Japan 14.7 billion US dollars.
In order for the price of crude oil to be not always a dilemma, Indonesia must strengthen the manufacturing industry and can not be postponed again. Although not easy, it must be done to ensure our economy is sustainable.
IN INDONESIA
Dilema Harga Minyak
Dalam sebulan ini, harga minyak mentah dunia, baik WTI maupun Brent, terus naik. Bagi Indonesia, tren harga minyak sebetulnya menjadi dilema. Di satu sisi, Indonesia sudah menjadi importir minyak, sementara di sisi lain, ekonomi Indonesia masih bergantung pada sektor komoditas yang harganya kadang kala dipengaruhi sentimen harga minyak mentah.
Harga minyak mentah jenis Brent pada Jumat (19/ 1) untuk kontrak pengiriman Maret 2018 tercatat 68,5 dollar AS per barrel. Adapun minyak mentah jenis WTI untuk pengiriman Februari 2018 tercatat 63,25 dollar AS per barrel. Kenaikan harga minyak mentah dunia itu antara lain dipicu oleh pembatasan produksi di kalangan negara-negara anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC). Fluktuasi harga minyak mentah memang tidak bisa dihindari.
Harga minyak mentah pernah mencapai 115 dollar AS per barrel pada pertengahan 2014. Namun, enam bulan kemudian terjun hingga ke 50 dollar AS per barrel. Pada Januari 2016, harganya terjun lagi hingga ke 28 dollar AS per barrel. Ketika harga minyak mentah berada dalam tren penurunan dan sudah mendekati 50 dollar AS pada akhir 2014, kebijakan pemerintah untuk mencabut subsidi premium dan memberikan subsidi tetap Rp 1.000 untuk solar berjalan mulus. Relatif tidak ada gejolak. Ini sangat berbeda dibandingkan dengan rezim-rezim sebelumnya yang selalu menghadapi berbagai tantangan ketika akan mengurangi subsidi bahan bakar minyak.
Dampak berupa kenaikan harga bahan bakar minyak setelah pengurangan subsidi menjadi pilihan sulit bagi pemerintah. Namun, pemerintah menghadapi persoalan lain yang lebih besar saat harga minyak mentah dunia jatuh.
Harus diakui, Indonesia masih sangat bergantung pada sektor komoditas hingga kini walaupun cetak biru industri manufaktur sudah diluncurkan. Harga komoditas, termasuk yang menjadi andalan ekspor Indonesia, tidak hanya bergantung pada mekanisme pasar yakni hukum penawaran dan permintaan tetapi juga bergantung pada sentimen.
Selama ini, sentimen yang bisa ikut memengaruhi harga komoditas adalah tren harga minyak mentah dunia. Ketika harga minyak mentah naik, harga sejumlah komoditas ikut naik. Demikian juga sebaliknya. Ketika cetak biru itu diluncurkan, pemerintah berharap bahwa Indonesia bisa terlepas dari ketergantungan terhadap komoditas karena berulang kali Indonesia mengalami Dutch Disease. Fenomena ekonomi berupa menurunnya sektor industri karena ditemukannya sumber daya alam melimpah yang pertama kali tercetus di Belanda pada 1977 itu berulang kali dialami Indonesia.
Awalnya kita mengalami penyakit ekonomi itu saat ditemukan cadangan minyak dan gas alam melimpah pada era 1980, lalu mineral batubara, dan terakhir adalah minyak kelapa sawit mentah.
Ketergantungan Indonesia pada sektor komoditas tercermin dari kinerja ekspor dan produk” domestik bruto sejumlah daerah penghasil komoditas. Pada 2012 total ekspor Indonesia tercatat 156,89 miliar dollar AS dengan kontribusi nonmigas 132,585 atau 84,6 persen dari total ekspor. Ekspor nonmigas ditopang oleh produk lemak dan minyak hewan/nabati 22,97 miliar dollar AS (15 persen) dan bahan bakar mineral 21,07 miliar dollar AS (13,77 persen).
Mayoritas tujuan ekspor non-migas adalah negara-negara industri sehingga makin menguatkan bahwa ekspor nonmigas memang masih berupa komoditas. Negara-negara tersebut antara lain China dengan 21,32 miliar dollar AS; Amerika Serikat 121 miliar dollar AS; Uni Eropa 16,29 miliar dollar AS; dan Jepang 14,7 miliar dollar AS. Supaya harga minyak mentah tidak selalu menjadi dilema, Indonesia harus menguatkan industri manufaktur dan tidak bisa ditunda lagi. Walaupun tidak mudah, itu harus dilakukan untuk menjamin ekonomi kita berkelanjutan.
Kompas, Page-17, Saturday, Jan 20, 2018
No comments:
Post a Comment