The government should not be rigid in implementing oil and gas sharing schemes with investors. The upstream oil and gas investment climate that has not fully recovered should be favorable to investors. In addition, tax relief and incentives in other forms are also required.
Satya Widya Yudha
According to Vice Chairman of Commission VII of the House of Representatives, Satya Widya Yudha, the burden of the tax burden on investors is becoming less attractive when the upstream oil and gas investment climate is still unattractive. In addition, investors are still facing nontechnical difficulties in the field, such as long-standing licenses and fluctuating rules.
"We recommend that the policy applied is not rigid. For example, contractors who fail to get oil or gas from drilling should not be taxed anymore. It will be burdensome, "said Satya, Sunday (7/1), in Jakarta.
In addition, the government should be careful in giving the right to manage the working area of oil and gas to contractors. Preferably, only a truly bona fide contractor is granted the right to manage the oil and gas working area.
"Give to contractors who are really serious about managing oil and gas working areas. Not to contractors who are passive, "said Satya.
Talking about the five areas of unconventional oil and gas work that investors are interested in does not guarantee that they really manage it. There is a long enough time span between entering a bidding document and signing a production sharing contract.
In the exposure of the upstream oil and gas sector in 2017 by the Upstream Oil and Gas Upstream Business Unit (SKK Migas) last week, the achievement of 2017 oil lifting production was 803,800 barrels per day.
This figure is lower than the APBN-P 2017 as much as 815,000 barrels per day. The natural gas lifting is 6.386 million standard cubic feet per day (MMSCFD) or lower than the target of 40 MMSCFD.
Although the target of oil and natural gas lifting is not achieved, the realization of state revenues from the sector is increasing. From the provision of ABPN-P 2017 amounting to 12.2 billion US dollars (Rp 164.7 trillion), the realization of state revenues from upstream oil and gas activities throughout 2017 was 13.1 billion US dollars (Rp 176.8 trillion). The increase of crude oil price throughout 2017 became the main cause of the upstream oil and gas sector revenues.
Not really
Head of SKK Migas Amien Sunaryadi said, there are a number of KKKS who are not serious in investing in upstream oil and gas. That is, among others seen from the KKKS who do not carry out exploration activities due to limited funds. As a result, the target of additional oil and gas reserves in Indonesia is not achieved.
"The serious thing is to carry out exploration activities only big companies, from the 60 percent target, oil and gas reserves in 2017 will only increase 55.3 percent," said Amien.
In 2016, continued Amien, there are 284 oil and gas working areas throughout Indonesia, both conventional and nonconventional. In 20171, the number is reduced to 255 conventional and non-conventional working areas.
Realization of exploration and production investment in 2017 amounted to 9.33 billion US dollars or nearly Rp 126 trillion. The target set 12.9 billion US dollars or nearly Rp 166 trillion.
Realization of investment in 2016 as much as 10.43 billion US dollars or equivalent to Rp 140.8 trillion. This realization is lower than target of 12.015 billion US dollars (equivalent to Rp 162.2 trillion).
To stimulate upstream oil and gas investment in the country, the government issued Government Regulation No. 53/2020 on Tax Treatment for Upstream Oil and Gas Upper Business Upon Gross Split Distribution Contract. This regulation provides certainty in the form of incentives for upstream oil and gas contractors, such as exemption of import duties on oil and gas operations, abolition of land and building tax and tax exemption for shared assets.
IN INDONESIA
Pemerintah Sebaiknya Tidak Kaku dalam Skema Bagi Hasil
Pemerintah sebaiknya tidak kaku dalam menerapkan skema bagi hasil minyak dan gas bumi dengan investor. Iklim investasi hulu minyak dan gas bumi yang belum sepenuhnya pulih harus berpihak pada investor. Selain itu, keringanan pajak dan insentif dalam bentuk lain juga dibutuhkan.
Menurut Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya Widya Yudha, beban pajak yang memberatkan investor menjadi semakin tidak menarik di saat iklim investasi hulu migas yang masih tidak menarik. Selain itu, investor juga masih menghadapi kesulitan nonteknis di lapangan, seperti perizinan yang terlau lama dan aturan yang mudah berubah-ubah.
”Sebaiknya kebijakan yang diterapkan tidak kaku. Contohnya, kontraktor yang gagal mendapatkan minyak atau gas dalam pengeboran sebajknya tak dibebani pajak lagi. Itu akan memberatkan,” ujar Satya, Minggu (7/1), di Jakarta.
Selain itu pemerintah sebaiknya cermat dalam memberikan hak kelola wilayah kerja migas terhadap kontraktor. Sebaiknya, hanya kontraktor yang benar-benar bonafide yang diberi hak kelola wilayah kerja migas tersebut.
”Berikanlah kepada kontraktor yang benar-benar serius mengelola wilayah kerja migas. Bukan kepada kontraktor yang paslu,” kata Satya.
Menyinggung soal lima wilayah kerja migas nonkonvensional yang diminati investor hal itu belum menjamin mereka benar-benar mengelolanya. Ada rentang waktu yang cukup lama antara memasukkan dokumen penawaran dan tanda tangan kontrak bagi hasil.
Dalam paparan kinerja sektor hulu migas Indonesia pada 2017 oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) pekan lalu, capaian produksi siap jual (lifting) minyak 2017 sebanyak 803.800 barrel per hari.
Angka ini lebih rendah daripada ketetapan APBN-P 2017 yang sebanyak 815.000 barrel per hari. Adapun lifting gas bumi yang terealisasi 6.386 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) atau lebih rendah daripada target yang sebanyak 40 MMSCFD.
Meskipun target lifting minyak dan gas bumi tidak tercapai, realisasi penerimaan negara dari sektor tersebut meningkat. Dari ketetapan ABPN-P 2017 yang sebesar 12,2 miliar dollar AS (Rp 164,7 triliun), realisasi penerimaan negara dari kegiatan hulu migas sepanjang 2017 adalah 13,1 miliar dollar AS (Rp 176,8 triliun). Kenaikan harga minyak mentah sepanjang 2017 menjadi penyebab utama penerimaan sektor hulu migas meningkat.
Tidak sungguh-sungguh
Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi menyebutkan, ada sejumlah KKKS yang tak sungguh-sungguh dalam berinvestasi di hulu migas. Hal itu, antara lain terlihat dari KKKS yang tidak melaksanakan kegiatan eksplorasi lantaran keterbatasan dana. Akibatnya, target penambahan cadangan migas di Indonesia tidak tercapai.
"Yang bersungguh-sungguh mau melaksanakan kegiatan eksplorasi hanya perusahaan-perusahaan besar. Dari target 60 persen, cadangan migas sepanjang 2017 hanya bertambah 55,3 persen,” ujar Amien.
Pada 2016, lanjut Amien, ada 284 wilayah kerja migas di seLuruh,Indonesia, baik yang konvensional maupun nonkonvensional. Adapun pada 20171 jumlahnya berkurang menjadi 255 wilayah kerja konvensional dan nonkonvensional.
Realisasi investasi eksplorasi dan produksi pada 2017 sebesar 9,33 miliar dollar AS atau hampir Rp 126 triliun. Adapun target yang ditetapkan 12,9 miliar dollar AS atau hampir Rp 166 triliun.
Realisasi investasi pada 2016 sebanyak 10,43 miliar dollar AS atau setara Rp 140,8 triliun. Realisasi ini lebih rendah daripada
target yang sebesar 12,015 miliar dollar AS (setara Rp 162,2 triliun).
Untuk menggairahkan investasi hulu migas di dalam negeri, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2017 tentang Perlakuan Perpajakan Pada Kegatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Dengan Kontrak Bagi Hasil Gross Split.
Peraturan ini memberi kepastian berupa insentif bagi kontraktor hulu migas, antara lain pembebasan bea masuk impor atas barang operasi migas, penghapusan pajak bumi dan bangunan serta pembebasan pajak untuk aset yang digunakan bersama.
Kompas, Page-17, Monday, Jan 8, 2018
No comments:
Post a Comment