google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 OPEC Production Meeting Rejects US Intervention - MEDIA MONITORING OIL AND GAS -->

Thursday, June 21, 2018

OPEC Production Meeting Rejects US Intervention



The Organization of Petroleum Exporting Countries or OPEC rejects the United States' demand for producing countries, particularly Saudi Arabia, to boost oil production as supply depreciates due to economic and political sanctions befalling Iran and Venezuela.

The US government unofficially requested Saudi Arabia and a number of OPEC producers to increase output a day before Uncle Sam imposed new sanctions on Iran banning firms to do business with the Persian nation.

US President Donald Trump had earlier withdrawn a nuclear deal last month but again announced high-level sanctions on Iran, OPEC's biggest producer after Saudi Arabia and Iraq. Iran's OPEC governor, Hossein Kazempour Ardebili, insists that US intervention efforts for OPEC oil production are out of bounds and outrageous.

"Surprisingly, seeing that instruction came from the US asking the Saudis to act to cover up the decline of Iranian exports due to their illegal sanctions against Iran and Venezuela," he said, quoted by Reuters.

Iran states that US demand on Saudi Arabia and generally to OPEC to pump oil in larger quantities is unwise. Kazempour revealed that OPEC would not ignore the request because it complicates the discussion of organizational meetings at the end of this month.

Earlier, in 2015, Tehran refused to approve the OPEC policy at the time, saying that the organization should increase output as sanctions cease. US sanctions this time affect the oil industry in Iran after 180 days of transition period ending on 4 November. However, before that period finished European oil processors have transferred its oil purchases from Iran.

Iran has called on OPEC to dictate the illegal sanctions at its June 22 OPEC meeting, which will also discuss the continuation of production policy. OPEC and its Russian-led allies have cut the total output by 1.8 million barrels per day since January 2017 and the cuts policy should end by the end of 2018.

However, Saudi Arabia and Russia say that the cuts policy will be reduced after receiving applications and consumers, including the US, China and India to boost global supplies. Kazempour predicted that the OPEC meeting would ignore the US demand and stated that oil prices would soar in response to US sanctions to Venezuela and Venezuela.

PRICE MOVEMENT

The price of crude oil is flushed after the market weighed on signals of oil supply problems and Saudi Arabia, Russia and Venezuela. At the close of trading on Friday (8/6) recorded West Texas Intermediate oil prices fell 0.32% or 0.21 points to US $ 65.74 per barrel, up 8.81% over the year.

Meanwhile, the price of Brent Futures oil fell 0.86 points or 1.11% to US $ 76.46 per barrel, up 14.3-4% during the year. The Petroleum Ministers of Saudi Arabia and Russia are scheduled to meet next week, adding to speculation that the world's two biggest oil exporters are poised to shift away from a deal on production restrictions. Discussions by Russian Energy Minister Alexander Novak and Saudi Oil Minister Khalid Al Falih in Moscow will likely be an opening for a meeting of OPEC members and allies discussing the continuation of production policy.

"The OPEC movement that actively discusses the reduction of oil production cuts has brought bearish forecasts on the oil market," said Rob Haworth. manager of US $ 151 billion at US Bank Wealth Management in Seattle.

Senior analyst at Danske Bank, Copenhagen, Jens Naervig Pedersen, said that after Saudi Arabia and Russia suggested OPEC to raise output in the second half of 2018, the market continues to focus which ultimately pushes OPEC's caution. Meanwhile, Venezuela's oil exports fell drastically considering that Latin America is facing an economic crisis.

"We will be exposed to tremendous risks. News about Venezuela about waiting cargo ships is loaded and the inability to supply the most active contract volumes has supported the market today, "said John Kilduff, partner of Again Capital LLC, hedge funds from New York.

PT Monex Investindo's research stated that WTI oil price is currently approaching resistance at US $ 66.00 per barrel, a steady movement above this level will bring the price up to the area of ​​US $ 66.50 per barrel. Achievements above that area have the potential to bring the price up to the area of ​​US $ 67.20 per barrel.

Meanwhile, the nearest support is in the range of US $ 6S, 60 per barrel. If able to pass, the price of oil potentially will fall to the area of ​​US $ 65.20. As long as it does not reach below US $ 65.20 per barrel, crude oil is predicted to strengthen.

IN INDONESIA

Rapat Produksi OPEC Tolak Intervensi AS


Organisasi Negara Pengekspor Minyak Mentah atau OPEC menolak permintaan Amerika Serikat kepada negara produsen, khususnya Arab Saudi, untuk meningkatkan produksi minyak seiring dengan penyusutan pasokan akibat sanksi politik ekonomi yang menimpa Iran dan Venezuela.

Pemerintah AS secara tidak resmi meminta Arab Saudi dan sejumlah produsen OPEC untuk meningkatkan hasil produksinya sehari sebelum Paman Sam menjatuhkan sanksi baru ke Iran yakni melarang perusahaan untuk berbisnis dengan Negeri Persia itu.

Presiden AS Donald Trump sebelumnya telah menarik kesepakatan nuklir pada bulan lalu, namun kembali mengumumkan sanksi tingkat tinggi pada Iran, produsen terbesar OPEC setelah Arab Saudi dan Irak. Gubernur OPEC dari Iran, Hossein Kazempour Ardebili, menegaskan bahwa upaya intervensi AS untuk produksi minyak OPEC di luar batas dan keterlaluan.

"Mengherankan, melihat instruksi itu datang dari AS yang meminta Saudi untuk bertindak menutupi kemerosotan ekspor Iran karena sanksi ilegal mereka terhadap Iran dan Venezuela,” tuturnya, dikutip dari Reuters.

Iran menyatakan bahwa permintaan AS pada Arab Saudi dan secara umum kepada OPEC untuk memompa minyak dalam jumlah yang lebih besar merupakan tindakan tidak bijaksana. Kazempour mengungkapkan bahwa OPEC tidak akan menghiraukan permohonan tersebut karena mempersulit pembahasan pertemuan organisasi pada akhir bulan ini.

Sebelumnya, pada 2015, Teheran menolak menyetujui kebijakan OPEC kala itu, yakni mengatakan bahwa organisasi seharusnya meningkatkan hasil produksi seiring dengan penghentian sanksi. Sanksi AS kali ini berpengaruh pada industri minyak di Iran setelah 180 hari periode peralihan yang berakhir pada 4 November. Namun, sebelum periode tersebut habis pengolah minyak Eropa sudah mengalihkan pembelian minyak nya dari Iran.

Iran telah meminta OPEC untuk mendikskusikan sanksi yang dinilai ilegal tersebut pada pertemuan OPEC 22 Juni mendatang, yang juga akan membicarakan soal kelanjutan kebijakan produksi. OPEC dan sekutunya yang dipimpin oleh Rusia telah memangkas total hasil produksi sebanyak 1.8 juta barel per hari sejak Januari 2017 dan kebijakan pemangkasan tersebut semestinya berakhir pada akhir 2018.

Namun, Arab Saudi dan Rusia mengatakan bahwa kebijakan pemangkasan tersebut akan dikurangi setelah menerima permohonan dan konsumen, termasuk AS, China, dan India untuk mendorong pasokan global. Kazempour memprediksi bahwa pertemuan OPEC tidak akan menghiraukan permintaan AS itu dan menyatakan bahwa harga minyak akan melonjak sebagai respons untuk sanksi AS ke han dan Venezuela.

PERGERAKAN HARGA

Harga minyak mentah bergerak memerah setelah pasar mempertimbangkan sinyal permasalahan pasokan minyak dan Arab Saudi, Rusia, dan Venezuela. Pada penutupan perdagangan Jumat (8/6) tercatat harga minyak West Texas Intermediate turun 0,32% atau 0,21 poin menjadi US$ 65,74 per barel, naik 8,81 % selama tahun berlalu.

Adapun, harga minyak Brent Futures turun 0,86 poin atau 1,11% menjadi US$ 76,46 per barel, naik 14,3-4% sepanjang tahun berjalan. Menteri Perminyakan Arab Saudi dan Rusia di jadwalkan mengadakan pertemuan pada pekan depan sehingga menambah spekulasi bahwa kedua pengekspor minyak terbesar dunia itu siap untuk beralih dari kesepakatan pembatasan produksi. Diskusi oleh Menteri Energi Rusia Alexander Novak dan Menteri Perminyakan Arab Saudi Khalid Al Falih di Moskow kemungkinan akan menjadi pembuka untuk pertemuan anggota OPEC dan sekutunya yang membahas kelanjutan kebijakan produksi.

“Pergerakan OPEC yang secara aktif membahas pengurangan pemangkasan produksi minyak telah membawa perkiraan bearish pada pasar minyak,” ujar Rob Haworth. pengelola dana US$ 151 miliar di US Bank Wealth Management di Seattle.

Analis Senior di Danske Bank, Copenhagen, Jens Naervig Pedersen, mengatakan bahwa setelah Arab Saudi dan Rusia menyarankan OPEC untuk menaikkan produksi pada semester II/2018, pasar terus fokus yang pada akhirnya mendorong kehati-hatian OPEC. Adapun, ekspor minyak Venezuela turun drastis mengingat Amerika Latin sedang menghadapi krisis ekonomi.

“Kami akan terkena risiko yang luar biasa. Berita tentang Venezuela tentang kapal kargo yang menunggu dimuat dan ketidakmampuan untuk memasok volume kontrak teraktif telah mendukung pasar saat ini,” kata John Kilduff, mitra Again Capital LLC, hedge-funds asal New York. 

Riset PT Monex Investindo menyatakan bahwa harga minyak WTI saat ini bergerak mendekati resistan US$ 66.00 per barel, pergerakan stabil diatas level ini akan membawa harga naik ke area US$ 66,50 per barel. Pencapaian di atas area tersebut berpotensi membawa harga naik ke area US$67,20 per barel. 

Sementara itu, support terdekat berada di kisaran US$ 6S,60 per barel. Jika mampu dilewati, harga minyak berpotensi turun ke area US$ 65,20. Selama tidak mencapai ke bawah US$ 65,20 per barel, minyak mentah diprediksi cenderung menguat.

Bisnis Indonesia, Page-19, Monday, June 11, 2018

No comments:

Post a Comment

POP UNDER

Iklan Tengah Artikel 1

NATIVE ASYNC

Iklan Bawah Artikel