Saudi Arabia, the world's biggest oil exporter, raised the price of reference crude oil to buyers in Asia to its highest level since 201 A driven by continued demand.
Saudi Arabia's Arabian Oil Co. raised the official selling price for Arab Light crude oil with July's delivery schedule to the Asian market area of US $ 20 cents, pushing the price increase to $ 2.10 a barrel. The company's move to raise prices three times in a row triggered the price of oil to its highest level since 2014. Aramco, one of Saudi Arabian producers, increased the gap by about US $ 34 cents as predicted by traders compiled by Bloomberg.
Bloomberg data show that light and medium grade oil from Aramco will soon be sold to Asia with the largest price increase since 2014. Meanwhile, heavyweight oil will trade at the highest price since 2012. The company raised prices in Asia to balance the shrinking of OPEC members Venezuela and Iran from supply in the market are expected to decline in the next few months.
Venezuela's oil production plunges 1 million barrels per day, compared with 2015 due to political issues and financial turmoil. Meanwhile, US sanctions to Iran have asked the oil producers to reduce exports in the same amount, 1 million barrels per day.
"The high oil prices suggest that the Saudis may feel in a stronger position as production in Venezuela and Iran will decline," said Olivier Jakob, Managing Director of Consultant Petromatrix, quoted from Bloomberg.
The latest oil price announcement from Saudi Arabia for its monthly exports provides an early indication of how producers in the Gulf region see market movements. By setting the official selling price (OSP), between higher or lower month to month. The Saudis signal strongly or weakly the view of producers on global demand. Other Middle Eastern producers use prices from Saudi Arabia as a reference.
Aramco is known to increase oil prices for all types of petroleum to the northwestern part of Europe and the Mediterranean region, and almost to all types of oil for the US market. For the American continent, oil demand has risen in the summer as US oil miners seek to supply for the driving season in the US and other regions. Consumption of oil from Saudi Arabia can increase up to two-fold because in that country oil is used to power the air conditioner.
In Asia, Aramco has been in dispute with major buyers in China for months because of a barrel price change. Sinopec, one of the world's largest oil processing companies, cut Saudi oil purchases in May and June as prices were overvalued. Sinopec, otherwise known as China Petroleum 81 Chemical Corp., bought crude from its subsidiary, China International United Petroleum & Chemicals Co. (Unipec).
MOBILE MOVEMENT
Oil prices have risen since the Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) and its allied producers began cutting output in January 2017 to shrink global supply surplus. After Brent crude oil prices reached US $ 80 per barrel last month, Saudi Arabia and Russia volunteered to increase production this year in order not to bring the impact of rising prices to consumers higher. Manufacturers in the Middle East are now competing with cargo from Latin America, North Africa, Russia, and US inventory increases to serve buyers from Asia. Most oil producers fix the price of oil by a margin above or below the reference oil price.
For Asia, the benchmark is at the average price of Oman and Dubai oil. Meanwhile, West Texas Intermediate oil prices rose for the first time in four sessions on the back of expectations that the US government is predicted to report a shrinking domestic oil supply. In trading Wednesday (6/6), WTI oil prices rose 0.29 points or 0.44% to US $ 65.81 per barrel, up 8.92% during the year.
Brent Futures oil rose 0.50 points, or 0.66 percent, to $ 75.88 a barrel and up 13.47 percent year-on-year (ytd). Brent oil sold US $ 10.07 premium from WTI.
"The increase in prices from US oil wells requires that US oil needs more exports," said Bob Yawger, Trade Director Futures Mizuho Securities USA Inc, in New York.
Earlier, Brent oil had traded at its lowest price from several sessions, as the US asked OPEC and allied producers to increase production by 1 million barrels per day.
"People are still paying attention to OPEC talks that are planning to raise production, and think that other oils can still compete with Brent, that's why Brent prices have fallen," said Michael Lynch, President of Stegic Enegry 82 Economic Research at Winchester.
IN INDONESIA
Saudi Naikkan Acuan Harga Minyak di Asia
Arab Saudi, pengekspor minyak terbesar dunia, menaikkan harga minyak mentah acuan untuk pembeli di kawasan Asia ke level tertinggi sejak 201 A terdorong oleh permintaan yang terus menguat.
Perusahaan milik Arab Saudi, Arabian Oil Co., meningkatkan harga jual resmi untuk minyak mentah jenis Arab Light dengan jadwal pengiriman Juli ke wilayah pasar Asia sebanyak US$20 sen sehingga mendorong kenaikan harga menjadi US$ 2,10 per barel. Tindakan perusahaan untuk menaikkan harga tiga kali berturut-turut memicu harga minyak itu ke level tertinggi sejak 2014. Aramco, salah satu produsen Arab Saudi, meningkatkan selisihnya sekitar US$ 34 sen sesuai hasil perkiraan trader yang disusun oleh Bloomberg.
Data Bloomberg menunjukkan, minyak kelas ringan dan sedang dari Aramco segera dijual ke Asia dengan kenaikan harga terlebar sejak 2014. Sementara itu, minyak kelas berat akan diperdagangkan dengan harga tertingginya sejak 2012. Perusahaan itu meningkatkan harga di kawasan Asia untuk menyeimbangkan penyusutan produksi anggota OPEC yakni Venezuela dan Iran dari pasokan di pasar yang diperkirakan semakin menipis dalam heberapa bulan ke depan.
Produksi minyak Venezuela anjlok 1 juta barel per hari, dibandingkan dengan pada 2015 karena isu politik dan kekacauan finansial. Sementara itu, sanksi AS ke Iran telah meminta produsen minyak itu untuk mengurangi ekspor dalam jumlah yang sama, 1 juta barel per hari.
“Tingginya harga minyak menunjukkan bahwa Saudi mungkin merasa berada di posisi yang lebih kuat karena produksi di Venezuela dan Iran akan menurun,"
ungkap Olivier Jakob, Direktur Pengelola Konsultan Petromatrix, dikutip dari Bloomberg.
Pengumuman harga minyak terbaru dari Arab Saudi untuk ekspor bulanannya memberikan indikasi awal tentang bagaimana produsen di wilayah Teluk melihat pergerakan pasar. Dengan menetapkan harga jual resmi (oflicial selling prices/OSP), antara lebih tinggi atau lebih rendah dari bulan ke bulan. Saudi mengisyaratkan kuat atau lemahnya pandangan produsen pada permintaan global. Produsen Timur Tengah lainnya menggunakan harga dari Arab Saudi sebagai acuan.
Aramco diketahui meningkatkan harga minyak untuk seluruh jenis petroleum ke bagian Barat laut Eropa dan wilayah Mediterania, serta hampir ke seluruh jenis minyak untuk pasar AS. Untuk wilayah benua Amerika, permintaan minyak mengalami kenaikan pada saat musim panas karena penambang minyak AS berupaya memasok untuk persiapan musim berkendara di AS dan wilayah lain. Konsumsi minyak dari Arab Saudi dapat mengalami peningkatan hingga dua kali lipat karena di negara itu minyak digunakan untuk menyalakan alat pendingin udara.
Di Asia, Aramco terlibat perselisihan dengan pembeli utama di China selama berbulan-bulan karena perubahan harga per barel. Sinopec, salah satu perusahaan pengolah minyak terbesar dunia, memangkas pembelian minyak Saudi pada Mei dan Juni karena harga yang dinilai terlalu tinggi. Sinopec, atau dikenal sebagai China Petroleum 81 Chemical Corp., membeli minyak mentah dari cabangnya, China International United Petroleum & Chemicals Co (Unipec).
PERGERAKAN BURSA
Harga minyak telah mengalami kenaikan sejak organisasi negara pengekspor minyak mentah (OPEC) dan produsen sekutunya mulai memangkas hasil produksi pada januari 2017 untuk menyusutkan kelebihan pasokan global. Setelah harga minyak Brent mencapai US$ 80 per barel pada bulan lalu, Arab Saudi dan Rusia mengajukan diri untuk meningkatkan produksi pada tahun ini agar tidak membawa dampak kenaikan harga ke konsumen semakin tinggi.
Produsen di Timur Tengah kini bersaing dengan kargo dari Amerika Latin, Afrika Utara, Rusia, dan kenaikan persediaan AS untuk melayani pembeli dari Asia. Kebanyakan produsen minyak itu menetapkan harga minyak dengan selisih di atas atau di bawah harga minyak acuan.
Untuk Asia, acuannya berada di rata-rata harga minyak Oman dan Dubai. Sementara itu, harga minyak West Texas Intermediate naik untuk pertama kalinya dalam empat sesi lantaran terdorong oleh ekspektasi bahwa pemerintah AS diprediksi melaporkan penyusutan pasokan minyak domestik. Pada perdagangan Rabu (6/6), harga minyak WTI tercatat naik 0,29 poin atau 0.44% menjadi US$65.81 per barel, naik 8,92% selama tahun ini.
Minyak Brent Futures naik 0,50 poin atau 0,66% menjadi US$75,88 per barel dan naik 13,47% secara year-to-date (ytd). Minyak Brent dijual US$10.07 premium dari WTI.
"Kenaikan harga dari sumur minyak AS mengsyaratkan bahwa minyak AS membutuhkan lebih banyak ekspor," kata Bob Yawger, Direktur Perdagangan
Berjangka Mizuho Securities USA Inc, di New York.
Sebelumnya, minyak Brent sempat diperdagangkan pada harga terendahnya dari beberapa sesi, saat AS meminta OPEC dan produsen sekutu untuk meningkatkan produksi hingga 1 juta barel per hari.
"Orang-orang masih memperhatikan pembicaraan OPEC yang berencana menaikkan produksi, dan berpikir bahwa minyak lain masih bisa bersaing dengan Brent, alasan itu yang membuat harga Brent sempat jatuh," ujar Michael Lynch, Presiden Stategic Enegry 82 Economic Research di Winchester.
Bisnis Indonesia, Page-16, Thursday, June 7, 2018
No comments:
Post a Comment