google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 State oil sector revenues are projected to reach US $ 16.1 billion - MEDIA MONITORING OIL AND GAS -->

Monday, October 29, 2018

State oil sector revenues are projected to reach US $ 16.1 billion



The Special Task Force for Upstream Oil and Gas Business Activities (SKK Migas) projects state revenues from the oil and gas sector this year to reach US $ 16.1 billion, 35% higher than the target of US $ 11.9 billion. However, oil and gas production is predicted to not reach the target, which is only 96% of the target or 1.9 barrels of oil equivalent per day / boepd.

SKK Migas Head Amien Sunaryadi said, until the third quarter of this year, the realization of state revenues from the oil and gas sector had reached US $ 11.8 billion. This figure is only slightly different from the target of the state's revenue in the State Budget (APBN) which is set at US $ 11.9 billion.

"Outlook until the end of the year, oil and gas revenues can reach US $ 16.1 billion," he said.

However, the high estimate of oil and gas revenues is not in line with the realization of national oil and gas lifting. According to Amien, the realization of oil lifting until last September was only 774 thousand barrels per day (bpd) or 97% of the budget target of 800 thousand bpd. Until the end of the year, this oil lifting is predicted to remain below the target, which is only 776 thousand bpd.

The same thing happened for gas lifting. Until the third quarter, national gas lifting was still at 1.15 million boepd or 95% of the 1.2 million boepd budget target. While the projection of gas lifting until the end of this year is only 1.13 million boepd or 94% of the target.

Cumulatively, the achievement of oil and gas lifting up to the third quarter was 1.9 million boepd or 96% of the target of 2 million boepd. The outlook until the end of the year was 1.9 million boepd or 95% of the target, "Amien said.

Head of SKK Migas Program and Communication Division Wisnu Prabawa Taher emphasized that although it was projected to only reach 95%, it would still try to achieve this year's production target. Moreover, several oil and gas projects are scheduled to start operating this year. 

    According to SKK Migas data, several of these projects are the development of Block A by PT Medco E & P Malaka, optimization of Lica production facilities and Temelat gas jetting to Gunung Kembang Station by PT Medcp E & P Indonesia, development of SP Project by PT Pertamina Hulu Energi ONWJ, and subsea pipeline development gas lift BW Poleng Field by Pertamina EP

"There are still two upstream oil and gas projects that will be onstream in the fourth quarter of 2018," said Wisnu.

Wisnu admitted, related to the achievement of oil and gas revenues, it was mainly caused by the increase in crude oil prices. However, this is also due to the efficiency and optimization of operating costs carried out by the cooperation contract contractors (KKKS), so that the profit margin becomes better.

Referring to data from the Ministry of Energy and Mineral Resources (ESDM), in the period from January to April, the Indonesian Crude Price (ICP) was still in the range of US $ 61-67 per barrel. Furthermore, ICP soared to US $ 72.46 per barrel in May. After that, ICP dropped to around US $ 70 per barrel, returning to US $ 69.36 per barrel in August, and reaching US $ 74.88 per barrel in September.

Energy observer and Chairman of the Indonesian Petroleum Engineers Association (IATMI) Pri Agung Rakhmanto said that the national oil and gas production trend would indeed survive in the range of 700-800 thousand bpd for oil and 1 million boepd for gas. In fact, this oil and gas production will continue to fall if there are also no new oil and gas fields with very large reserves.

"If only withholding the pace of production, just do production optimization from the existing fields and streamline some new projects. And that's what has been done from year to year, that's why oil and gas production trends are like that, "he explained.

Regarding the achievement of oil and gas revenues which are projected to be quite high, it is said to be the influence of the increase in the price of crude oil.

"Obviously oil and gas revenues will be more than justified by the movement of oil prices. If converted to Rupiah to be included in the APBN, it automatically depends also on the movement of the Rupiah against the US Dollar," Pri Agung said.

More focus

Unfortunately, the increase in crude oil prices has not been able to increase national oil and gas investment. According to SKK Migas data, until last September, oil and gas investment reached US $ 7.9 billion or 56% of the target of US $ 14.2 billion. This oil and gas investment is projected to only reach US $ 11.2 billion by the end of this year.

However, according to Wisnu, the realization of oil and gas investment until the third quarter was better than the same period last year of US $ 6.7 billion.

"This is in line with the increased realization of production development and optimization activities, including Pertamina EP Pertamina Hulu Mahakam, Chevron Pacific Indonesia, ExxonMobil Cepu Limited, and BP" he said.

Pri Agung stated, at the global level, the trend of upstream oil and gas investment had improved and had begun to increase since early 2018. That is, for the past two years the world's upstream oil and gas investment has continued to rise.

"Indonesia's upstream (oil and gas upstream) is relatively lagging behind," he said.

The reason is, the national upstream oil and gas investment climate is less competitive compared to other countries. For this reason, the government is advised to improve the investment climate by focusing on clear targets or targets.

"For example, in the next five years, somehow it will find 1-2 new oil and gas fields in the same class as the Cepu Block," said Pri Agung.

Meanwhile, referring to SKK Migas data, the realization of cost recovery this year is projected to exceed the target. Until last September, the realization of cost recovery was recorded at US $ 8.7 billion or 87% of the target of US $ 10.2 billion. Furthermore, the cost recovery outlook until the end of the year was US $ 11.7 billion.

IN INDONESIAN

Penerimaan negara Sektor Minyak Diproyeksikan Capai US$ 16,1 Miliar


Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) memproyeksikan penerimaan negara dari sektor migas pada tahun ini mencapai US$ 16,1 miliar, 35% lebih tinggi dibanding target US$ 11,9 miliar. Namun, produksi migas diprediksi tidak akan mencapai target, yakni hanya 96% dari target atau sebesar 1,9 barrel oil equivalent per day/boepd

Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi mengatakan, sampai kuartal ketiga tahun ini, realisasi penerimaan negara dari sektor migas telah mencapai US$ 11,8 miliar. Angka ini hanya beda tipis dari target penerimaan negara sektor ini dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ditetapkan sebesar US$ 11,9 miliar. 

“Outlook sampai akhir tahun, penerimaan migas bisa mencapai US$ 16,1 miliar,” kata dia.

Meski demikian, tingginya perkiraan penerimaan migas ini tidak sejalan dengan realisasi lifting migas nasional. Menurut Amien, realisasi lifting minyak sampai September lalu hanya 774 ribu barel per hari (bph) atau 97% dari target APBN 800 ribu bph. Sampai akhir tahun, lifting minyak ini diprediksi tetap akan di bawah target, yakni hanya 776 ribu bph.

Hal yang sama juga terjadi untuk lifting gas. Sampai kuartal ketiga, capaian lifting gas nasional masih di level 1,15 juta boepd atau 95% dari target APBN 1,2 juta boepd. Sementara proyeksi lifting gas sampai akhir tahun ini hanya 1,13 juta boepd atau 94% dari target.

Secara kumulatif, capaian lifting migas sampai kuartal ketiga 1,9 juta boepd atau 96% dari target 2 juta boepd. Outlook sampai akhir tahun sebesar 1,9 juta boepd atau 95% dari target,” tutur Amien.

Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Wisnu Prabawa Taher menegaskan, meski diproyeksikan hanya tercapai 95%, pihaknya masih akan berupaya untuk mencapai target produksi tahun ini. Apalagi, beberapa proyek migas dijadwalkan mulai beroperasi pada tahun ini. 

     Sesuai data SKK Migas, beberapa proyek ini adalah pengembangan Blok A oleh PT Medco E&P Malaka, optimalisasi fasilitas produksi Lica dan pengaliran gas Temelat ke Gunung Kembang Stasiun oleh PT Medcp E&P Indonesia, pengembangan Proyek SP oleh PT Pertamina Hulu Energi ONWJ, serta pembangunan subsea pipeline gas lift BW Lapangan Poleng oleh Pertamina EP 

“Masih ada dua proyek hulu migas yang akan onstream di kuartal keempat 2018 ini,” ujar Wisnu.

Wisnu mengakui, terkait capaian penerimaan migas, utamanya memang disebabkan oleh kenaikan harga minyak mentah. Namun, hal ini juga lantaran adanya efisiensi serta optimalisasi biaya operasi yang dilakukan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) , sehingga marjin labanya menjadi lebih bagus.

Mengacu data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pada periode Januari-April lalu, harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ ICP) tercatat masih bertahan di kisaran US$ 61-67 per barel. Selanjutnya, ICP melejit naik menjadi US$ 72,46 per barel pada Mei. Setelah itu, ICP turun di kisaran US$ 70 per barel, kembali menjadi US$ 69,36 per barel di Agustus lalu, dan mencapai US$ 74,88 per barel di September.

Pengamat Energi sekaligus Ketua I Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) Pri Agung Rakhmanto menilai, tren produksi migas nasional memang akan bertahan pada kisaran 700-800 ribu bph untuk minyak dan 1 juta boepd untuk gas. Bahkan, produksi migas ini akan terus turun jika tidak juga ditemukan lapangan migas baru dengan cadangan yang sangat besar. 

“Kalau sekedar menahan laju produksi, dilakukan optimalisasi produksi saja dari lapangan yang ada dan mengonstreamkan beberapa proyek baru. Dan itu yang selama ini dilakukan dari tahun ke tahun, makanya tren produksi migas seperti itu,” jelas dia.

Terkait capaian penerimaan migas yang diproyeksikan cukup tinggi, hal itu dikatakannya merupakan pengaruh dari peningkatan harga minyak mentah. 

"Jelas penerimaan migas akan lebih ditantukan oleh pergerakan harga minyak saja. Kalau dikonversikan ke Rupiah untuk dimasukkan ke APBN, secara otomatis bergantung juga pada pergerakan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat,” kata Pri Agung.

Lebih Fokus

Sayangnya, kenaikan harga minyak mentah ini belum dapat meningkatkan investasi migas nasional. Menurut data SKK Migas, sampai September lalu, investasi migas mencapai US$ 7,9 miliar atau 56% dari target US$ 14,2 miliar. Investasi migas ini diproyeksikan hanya akan mencapai US$ 11,2 miliar pada akhir tahun ini. 

Namun, menurut Wisnu, realisasi investasi migas sampai kuartal ketiga tersebut lebih baik dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar US$ 6,7 miliar. 

“Hal ini sejalan dengan peningkatan realisasi kegiatan pengembangan dan optimalisasi produksi, antara lain oleh Pertamina EP Pertamina Hulu Mahakam, Chevron Pacific Indonesia, ExxonMobil Cepu Limited, dan BP” tuturnya.

Pri Agung menyatakan, ditingkat global, tren investasi hulu migas sudah membaik dan mulai meningkat sejak awal 2018. Artinya, sudah dua tahun ini investasi hulu migas dunia terus naik. 

“Upstream (hulu migas) Indonesia relatif tertinggal,” ujarnya.

Penyebabnya, iklim investasi hulu migas nasional kalah kompetitif jika dibandingkan dengan negara lain. Untuk itu, pemerintah disarankannya melakukan perbaikan iklim investasi dengan fokus pada sasaran atau target yang jelas.

“Misalnya dalam lima tahun ke depan, entah bagaimana caranya, akan menemukan 1-2 lapangan migas baru sekelas Blok Cepu,” tutur Pri Agung. 

Sementara itu, mengacu data SKK Migas, realisasi pengembalian biaya operasi (cost recovery) pada tahun ini diproyeksikan melebihi target. Sampai September lalu, realisasi cost recovery tercatat sebesar US$ 8,7 miliar atau 87% dari target US$ 10,2 miliar. Selanjutnya, outlook cost recovery sampai akhir tahun sebesar US$ 11,7 miliar.

Investor Daily, Page-9, Friday, Oct 5, 2018

No comments:

Post a Comment

POP UNDER

Iklan Tengah Artikel 1

NATIVE ASYNC

Iklan Bawah Artikel