The realization of investment in the upstream oil and gas sector this year is not expected to be achieved according to the targets set in the 2018 State Budget (APBN) set at US $ 14.2 billion
As of October 31, the realization of investment in the sector was only US $ 8.7 billion (not including the exploration work area) or around 61%. End of year, it is estimated that the achievement is only 79%. SKK Migas Head Amien Sunaryadi said that the investment target was not achieved due to low IRR (Internal Rate of Return) and legal certainty which supported the realization of investment in the upstream oil and gas sector.
"Investors will certainly pay attention to the IRR. Investors will compare with IRR obtained from other countries. Investors are definitely looking for a large IRR, "he said.
Attractive returns on investment certainly make investors prefer investment destination countries. Amien said that if the IRR in Indonesia is high, then investors will choose to invest in Indonesia. Another problem is legal certainty, investors need legal certainty such as regulation, because investors need legal certainty before investing.
In addition, Amien added that the trend of upstream oil and gas investment was also influenced by the discovery of new reserves in Indonesia. The more discovery of oil and gas reserves in Indonesia, will positively correlate with the realization of upstream oil and gas investment. So far there have not been many inventions of new oil and gas reserves due to the lack of exploration activities.
"The upstream oil and gas investment trend is more influenced by the discovery of large or not. If large, the investment to build facilities is large. But if the discovery is small, the facilities are small. This means that the investment is small. So the determining factor is which discovery is small, "he said.
Regarding SKK Migas performance in 2019, Amien said that his party would only focus on exploration and keep the cost recovery not exceeding 100%. To reduce cost recovery, Amien ensures that it will not sacrifice the quality of product use, including iron and steel.
Uptake of local steel products needs to pay attention to the ability of manufacturers to provide goods. For this reason, the choice to optimize the use of domestic goods and services needs to bring commitment from local steel manufacturers.
In terms of local steel producers, there is hope to prioritize the use of local products, in the upstream oil and gas business. To that end, SKK Migas and the Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) signed a Memorandum of Understanding on the need for a fair price mechanism for domestic production as well as the existence of HSIA technical assistance to SKK Migas.
Amien said that with the MoU, SKK Migas did hope that there would be use of local steel in the upstream oil and gas sector. With the quality of the product that is the same as imported products, then what will be observed is the price. President Director of PT Pertamina EP Nanang Abdul Manaf welcomed SKK Migas' commitment to ensure that the use of products in the upstream oil and gas project is compulsory according to standards.
"We support because there is certainty, then the Head of SKK Migas also explained. That quality is not negotiable, both prices are also competitive, the third is shipping, so the time must be right, "he said.
On the same occasion, IISIA Chairperson Silmi Karim said, there were no problems regarding quality or price. According to him, the use of domestic products is to talk about the spirit of building a national industry.
East Natuna Block
EAST NATUNA
Meanwhile, the development of the Natuna D Alpha Block, also known as the East Natuna, has the potential to be hampered because there is still no technology to utilize carbon dioxide (CO2) gas. Amien said the East Natuna Block is predicted to have a large volume of gas. Only 72% of the gas found is carbon dioxide.
"So, if the gas is produced, where is the CO2 diverted? If CO2 wants to be used as fuel it can't. If it is thrown away, it will greatly damage the environment, "he said.
Therefore, he added, technology needs to be sought to utilize the amount of CO2 gas in the block.
"That's why we are looking for how to use CO2. Incidentally looking for the technology has not been successful so there is no technology that utilizes CO2. "
Previously, the Indonesian Petroleum Engineers Association (IATMI) encouraged the government to accelerate the realization of the use of oil and gas resources in the East Natuna Block, Natuna Regency, Riau Islands.
IATMI Chairperson Tutuka Ariadji said that the Natuna region has huge oil and gas potential, and needs to be utilized properly for domestic energy needs and export needs. He said the development of the East Natuna Block to increase national gas production needs to be harmonized with policies to increase domestic demand, so that projects that are delayed are very high.
IATMI Chairperson Tutuka Ariadji said that the Natuna region has huge oil and gas potential, and needs to be utilized properly for domestic energy needs and export needs. He said that the development of the East Natuna Block to increase national gas production needs to be harmonized with the policy to increase domestic demand, so that the project that is delayed for a long time can operate.
For information, oil and gas reserves in this block were discovered in 1974 by ExxonMobil. The reserves are 12,000 MMBOE, but because of the large carbon dioxide content, this block has not been produced.
IN INDONESIAN
Target Investasi Hulu Migas Sulit Tercapai
Realisasi investasi di sektor Hulu migas tahun ini diperkirakan tidak akan tercapai sesuai target yang ada dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 yang ditetapkan senilai US$ 14,2 miliar
Per 31 Oktober, realisasi investasi di sektor itu hanya US$ 8,7 miliar (belum termasuk wilayah kerja eksplorasi) atau sekitar 61%. Akhir tahun, diperkirakan capaiannya hanya 79%. Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi mengatakan tidak tercapainya target investasi tersebut karena faktor IRR (Internal Rate of Return) yang rendah dan kepastian hukum yang mendukung realisasi investasi di sektor hulu migas.
“Investor pasti akan memperhatikan IRR-nya berapa. Investor akan membandingkan dengan IRR yang didapat dari negara lain. Investor pasti mencari yang IRR nya besar,” katanya.
Tingkat pengembalian investasi yang menarik tentunya membuat investor lebih memilih negara tujuan investasi. Amien menyebutkan apabila IRR di Indonesia tinggi, maka investor pun akan memilih berinvestasi di Indonesia. Persoalan lain adalah kepastian hukum, Investor membutuhkan kepastian hukum seperti regulasi, ini karena investor membutuhan kepastian hukum sebelum berinvestasi.
Selain itu, Amien menambahkan tren investasi hulu migas juga dipengaruhi oleh penemuan cadangan baru di Indonesia. Semakin banyak penemuan cadangan migas di Indonesia, akan berkorelasi positif terhadap realisasi investasi hulu migas. Selama ini masih belum banyak penemuan cadangan migas baru karena sedikitnya pelaksanaan kegiatan eksplorasi.
“Tren investasi hulu migas itu lebih banyak dipengaruhi dengan adanya discovery yang besar atau tidak. Kalau besar maka investasi untuk membangun fasilitasnya besar. Tapi kalau discovery-nya kecil, ya fasilitasnya kecil. Artinya investasi-nya ya kecil. Jadi faktor yang menentukan itu discovery-nya kecil apa besar,” katanya.
Terkait kinerja SKK Migas pada 2019 mendatang, Amien mengatakan pihaknya hanya akan fokus pada eksplorasi dan menjaga agar cost recovery tidak melebihi 100%. Untuk menekan cost recovery Amien memastikan tidak akan mengorbankan kualitas penggunaan produk, salah satunya besi dan baja.
Serapan produk baja lokal perlu memperhatikan kemampuan pemanufaktur untuk menyediakan barang. Untuk itu, pilihan untuk mengoptimalkan penggunaan barang dan jasa dalam negeri perlu menghadirkan komitmen dari pabrikan baja lokal.
Dari sisi produsen baja lokal, ada harapan untuk memprioritaskan penggunaan produk lokal, dalam bisnis hulu migas. Untuk itu, SKK Migas dan Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (IISIA) mendatangani Nota Kesepahaman tentang perlunya mekanisme penetapan harga wajar produksi dalam negeri serta adanya technical assistance dari HSIA kepada SKK Migas.
Amien mengatakan dengan adanya MoU tersebut, SKK Migas memang berharap ada penggunaan baja lokal di sektor hulu migas.
Dengan kualitas produk yang sama dengan produk impor, selanjutnya yang akan dicermati adalah mengenai harga. Direktur Utama PT Pertamina EP Nanang Abdul Manaf menyambut baik komitmen SKK Migas untuk memastikan penggunaan produk dalam proyek hulu migas wajib sesuai standar.
“Kami mendukung karena ada kepastian, kemudian juga Kepala SKK Migas sudah menjelaskan. Bahwa kualitas tidak bisa ditawar, kedua harga yang juga kompetitif, ketiga pengirimannya, jadi waktunya harus tepat,” katanya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum IISIA Silmi Karim mengatakan, tidak ada permasalahan soal kualitas ataupun harga. Menurutnya, penggunaan produk dalam negeri, adalah bicara semangat membangun industri nasional.
EAST NATUNA
Sementara itu, pengembangan Blok Natuna D Alpha atau yang juga disebut sebagai East Natuna berpotensi terhambat karena masih belum ditemukannya teknologi pemanfaatan gas karbondioksida (CO2). Amien mengatakan Blok East Natuna diprediksi memiliki volume gas yang cukup besar. Hanya saja, sebesar 72% dari gas yang ditemukan tersebut adalah karbondioksida.
“Nah jadi kalau gas itu diproduksi, CO2-nya itu dialihkan kemana? Kalau CO2 nya mau dijadikan bahan bakar tidak bisa. Kalau dibuang, besar sekali nanti merusak lingkungan,” katanya.
Oleh karena itu, dia menambahkan, perlu dicari teknologi untuk memanfaatkan besarnya gas CO2 dalam blok tersebut.
“Karena itu dicari bagaimana memanfaatkan CO2. Kebetulan mencari teknologinya belum berhasil jadi belum ada teknologi yang memanfaatkan CO2.”
Sebelumnya, Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) mendorong pemerintah mempercepat realisasi pemanfaatan sumber minyak dan gas (migas) di Blok East Natuna, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau.
Ketua Umum IATMI Tutuka Ariadji mengatakan kawasan Natuna memiliki potensi migas sangat besar, dan perlu dimanfaatkan dengan baik untuk kebutuhan energi dalam negeri dan kebutuhan ekspor. Dia mengatakan pengembangan Blok East Natuna untuk meningkatkan produksi gas nasional itu perlu diselaraskan dengan kebijakan untuk meningkatkan permintaan domestik, sehingga proyek yang tertunda sangat lama itu bisa beroperasi.
Untuk diketahui, cadangan migas pada blok ini telah ditemukan pada 1974 oleh ExxonMobil. Cadangannya sebesar 12.000 MMBOE, tetapi karena besarnya kandungan karbon dioksida, blok ini belum diproduksikan.
Bisnis Indonesia, Page-24, Monday, Nov 12, 2018
No comments:
Post a Comment