google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 Luhut Opens New Option for Cilacap Refinery Development - MEDIA MONITORING OIL AND GAS -->

Tuesday, January 7, 2020

Luhut Opens New Option for Cilacap Refinery Development



Maritime and Investment Coordinating Minister Luhut Binsar Panjaitan said there were other options for the development of the Cilacap Refinery if PT Pertamina (Persero) and Saudi Aramco did not reach an agreement. This is because both of them are still negotiating about the size of the asset valuation of the Cilacap Refinery.

Luhut Binsar Panjaitan

Pertamina has cooperated with Saudi Aramco to work on this project since 2014. In 2016, both of them even signed a joint venture development agreement (JVDA) agreement. However, until now, the two have not yet formed this joint venture because there is no asset valusi agreement yet.

Saudi Aramco

According to Luhut, Pertamina and Saudi Aramco are still conducting valuations and have not yet finished. The government will evaluate this project because there are still differences in the results of valuations conducted by each oil and gas company around US $ 1.5 billion.

"If it remains that much [the difference in asset valuations], we see other options, there are already other choices," he said in Jakarta.

This asset valuation is needed to fulfill one of the requests of the Saudi Arabian oil and gas company, namely Spin Off Assets to be subsequently included in a joint venture. However, the problem of asset valuation differences in the Cilacap Refinery has dragged on. 

     Director of Processing and Petrochemical Megaproject Ignatius Tallulembang said, this was the umpteenth evaluation done by his side. However, different from before, this valuation was carried out by an international finance advisory firm (international financial advisor) who was jointly appointed by the two companies. The results of this valuation have not yet come out.

"[With Saudi Aramco] already started, move forward," he said after a meeting with Minister Luhut.

He said the results of the asset valuation of the Cilacap Refinery will be released and will be agreed soon at the end of this year. Luhut said, the first valuation was carried out for other purposes, so that it was only used as an estimated project, which was around US $ 2.8 billion. Furthermore, with the approval of Saudi Aramco, Pertamina conducts valuations in accordance with the Financial Services Authority (OJK) standards.

Unfortunately, Saudi Aramco did not agree on the figures resulting from this valuation due to differences in parameters and assumptions. Next, he said, Pertamina conducted a valuation by appointing the best consultant in the international world, namely Price Water House Cooper (PWC). The appointment of the PWC was as required by Saudi Aramco, who asked to appoint one of the world's four major consultants.

Price Waterhouse Coopers (PWC)

However, the results of the PWC valuation, after negotiations, there was still no agreement from Saudi Aramco. Previously, Pertamina had expressed its ability to work on the Cilacap Refinery with or without Saudi Aramco. In fact, Tallulembang mentioned that it had prepared a new scheme. 

     In this new scheme offered, among others, Saudi Aramco began to be involved after Pertamina completed the development of the Cilacap Refinery. Thus, Pertamina will bear the development costs by itself. But it does not rule out the possibility of the company looking for funding partners in completing the refinery project.

In fact, parallel with valuation, it is ready to execute land acquisition for the Cilacap Refinery Project. In addition, the company is also holding an auction to find a contractor working on early work or site development. The signing of the early work contract is targeted to be carried out in December. The Cilacap refinery is targeted to start operating in 2025. 

      After upgrading, the crude oil processing capacity of the Cilacap Refinery will increase from 348 thousand barrels per day (bpd) to 400 thousand bpd. Furthermore, there will be additional production of gasoline (gasoline) 80 thousand bpd, diesel 60 thousand bpd, and aviation fuel of 40 thousand bpd. Fuel production increased significantly because the ability of refineries to process crude oil into finished products (NCI) rose from 74% to 92-98%.

Accelerated

At the same time, Luhut also asked Pertamina to accelerate the work on refinery projects. He requested that the company work on all refinery projects in parallel.

"So it's parallel, so that we can speed up the time maybe biennial, now we are evaluating one by one. "I have already identified, next week Pertamina will report me again about the time table," he said.

Minister of Energy and Mineral Resources (ESDM) Arifin Tasrif also expressed the same thing. To accelerate the construction of the refinery, he will try to overcome the obstacles of this project, such as regulations, permits, and domestic problems.

"The Coordinating Minister for Maritime Affairs Luhut hopes that soon it will be possible. "In the next five years," he said.

Previously, Tallulembang had conveyed the progress of the refinery projects, where an important stage would be reached by the company in December this year.

"All projects are moving, everything is underway. So we accelerated and everything went according to the target, nothing was left behind, "he said.

Referring to the Committee for the Acceleration of Priority Infrastructure Provision (KPPIP), the investment value of all Pertamina refinery projects reached Rp 643.11 trillion. The entire refinery project is targeted to be completed in 2027. 

     With the construction of the refinery, the company's processing capacity will increase to 2 million bpd with a fuel production rate of 1.7 million bpd, from the current 1 million bpd. Thus, Pertamina will be able to meet the fuel needs in the next five years amounting to 1.7 million bpd, assuming growth in fuel needs is 3-4% per year and current needs are 1.5 million bpd.

IN INDONESIA

Luhut Buka Opsi Baru Pengembangan Kilang Cilacap


Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan menyatakan ada opsi lain untuk pengembangan Kilang Cilacap jika PT Pertamina (Persero) dan Saudi Aramco tidak mencapai kesepakatan. Hal ini mengingat keduanya masih negosiasi soal besaran valuasi aset Kilang Cilacap.

Pertamina telah menggandeng Saudi Aramco untuk menggarap proyek ini sejak 2014 silam. Pada 2016, keduanya bahkan telah meneken perjanjian pembentukan perusahaan patungan (join venture development agreement/JVDA). Namun, hingga kini, keduanya belum juga membentuk perusahaan patungan ini lantaran belum ada kesepakatan valusi aset. 

Menurut Luhut, Pertamina dan Saudi Aramco masih melakukan valuasi dan belum selesai. Pemerintah akan mengevaluasi proyek ini mengingat masih ada perbedaan hasil valuasi yang dilakukan oleh masing-masing perusahaan migas sekitar US$ 1,5 miliar. 

“Kalau masih tetap segitu [selisih valuasi aset], kami melihat pilihan lain, sudah ada pilihan lain,” kata dia di Jakarta.

Valuasi aset ini dibutuhkan untuk memenuhi salah satu permintaan perusahaan migas Arab Saudi itu, yakni Spin Off Aset untuk selanjutnya dimasukkan dalam perusahaan patungan (joint venture). Namun, permasalahan perbedaan valuasi aset Kilang Cilacap ini sudah berlarut-larut. 

     Direktur Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia Ignatius Tallulembang menuturkan, ini valuasi yang kesekian kali dilakukan pihaknya. Namun, berbeda dengan sebelumnya, valuasi ini dilakukan oleh perusahaan konsultan pembiayaan internasional (internasional financial advisor) yang ditunjuk bersama oleh kedua perusahaan. Hasil valuasi ini belum keluar.

“[Dengan Saudi Aramco] sudah dimulai, bergerak maju lah,” ujar dia usai rapat dengan Menteri Luhut. 

Hasil valuasi aset Kilang Cilacap disebutnya akan keluar dan segera disepakati akhir tahun ini. Luhut menceritakan, Valuasi yang pertama dilakukan untuk keperluan lain, sehingga hanya digunakan sebagai perkiraan proyek saja, yakni sekitar US$ 2,8 miliar. Selanjutnya, atas persetujuan Saudi Aramco, Pertamina melakukan valuasi sesuai dengan standar Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 

Sayangnya, Saudi Aramco tidak menyepakati angka yang dihasilkan dari valuasi ini lantaran adanya perbedaan parameter dan asumsi. Berikutnya, Pertamina disebutnya melakukan valuasi dengan menunjuk konsultan terbaik di dunia internasional, yakni Price Water House Cooper (PWC). Penunjukkan PWC sesuai yang disyaratkan Saudi Aramco yang meminta untuk menunjuk salah satu empat konsultan besar dunia.

Namun, hasil valuasi PWC ini, setelah dilakukan negosiasi, tetap tidak ada kata sepakat dari Saudi Aramco. Sebelumnya, Pertamina pernah mengungkapkan mampu menggarap Kilang Cilacap dengan atau tanpa Saudi Aramco. Bahkan, Tallulembang sempat menyebut telah menyiapkan skema baru. 

      Dalam skema baru ini yang ditawarkan antara lain Saudi Aramco mulai terlibat setelah Pertamina menyelesaikan pengembangan Kilang Cilacap. Sehingga, Pertamina menanggung sendiri biaya pengembangan yang dilakukannya. Namun tidak menutup kemungkinan perseroan mencari mitra pendanaan dalam penyelesaian proyek kilang.

Bahkan, paralel dengan dilakukannya valuasi, pihaknya siap mengeksekusi pengadaan lahan untuk Proyek Kilang Cilacap. Selain itu, perseroan juga sedang menggelar lelang untuk mencari kontraktor yang mengerjakan early work atau penyiapan lokasi (site development). Penandatanganan kontrak pekerjaan early work ini ditargetkan dilakukan pada Desember nanti. 

     Kilang Cilacap ditargetkan mulai beroperasi pada 2025. Pasca upgrading, kapasitas pengolahan minyak mentah Kilang Cilacap akan naik dari 348 ribu barel per hari (bph) menjadi 400 ribu bph. Selanjutnya, akan ada tambahan produksi bensin (gasoline) 80 ribu bph, solar 60 ribu bph, dan avtur 40 ribu bph. Produksi bahan bakar meningkat signifikan lantaran kemampuan kilang mengolah minyak mentah menjadi produk jadi (NCI) naik dari 74% menjadi 92-98%.

Dipercepat

Pada saat yang sama, Luhut juga meminta Pertamina untuk mempercepat pengerjaan proyek-proyek kilang bahan bakar minyak (BBM). Pihaknya meminta agar perseroan menggarap seluruh proyek kilang secara paralel.

“Jadi paralel, sehingga kami bisa percepat waktunya mungkin dua tahunan, sekarang kami evaluasi satu per satu. Tadi sudah di identifikasi, minggu depan Pertamina lapor saya lagi bagaimana time table-nya,” tutur dia.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif juga mengungkapkan hal yang sama. Untuk mempercepat pembangunan kilang, pihaknya akan berupaya mengatasi hambatan proyek ini, seperti peraturan, perizinan, dan masalah dalam negeri. 

“Pak Menko Maritim Luhut berharap bisa segera mungkin. Dalam lima tahun ke depan lah,” ujarnya.

Sebelumnya, Tallulembang telah menyampaikan progres proyek-proyek kilang ini, di mana tahapan penting akan dicapai perseroan pada Desember tahun ini. 

“Semua proyek sudah bergerak, sudah berlangsung semua. Jadi kami lakukan percepatan dan semua berjalan sesuai target, tidak ada yang tertinggal,” kata dia.

Mengacu data Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), nilai investasi seluruh proyek kilang Pertamina ini mencapai Rp 643,11 triliun. Seluruh proyek kilang perseroan ini ditargetkan selesai pada 2027. Dengan adanya pembangunan kilang maka kapasitas pengolahan perseroan akan naik menjadi 2 juta bph dengan tingkat produksi BBM 1,7 juta bph, dari saat ini 1 juta bph. Sehingga, Pertamina akan mampu memenuhi kebutuhan BBM dalam lima tahun mendatang sebesar 1,7 juta bph, dengan asumsi pertumbuhan kebutuhan BBM 3-4% per tahun dan kebutuhan saat ini 1,5 juta bph.

Investor Daily, Page-9, Tuesday, Nov 12, 2019

No comments:

Post a Comment

POP UNDER

Iklan Tengah Artikel 1

NATIVE ASYNC

Iklan Bawah Artikel