google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 Need Large Investment Reaches 1 Million BPH Oil Production - MEDIA MONITORING OIL AND GAS -->

MARKET

Wednesday, January 15, 2020

Need Large Investment Reaches 1 Million BPH Oil Production



The Indonesian Petroleum Association (IPA) states that it requires a very large investment to pursue the national oil production target of 1 million barrels per day (BPD) by 2030. The government's plan to provide flexibility in oil and gas contract schemes is a positive step to increase national upstream oil and gas investment.

IPA President Louise McKenzie said the oil production target of 1 million BPD would be quite severe if it only relied on existing oil and gas blocks. To pursue this target, new oil and gas projects are needed, even new oil and gas reserve findings. The reason is that additional oil production is needed that can also cover the decline in production from oil and gas blocks that are already operating.

"That will require quite a large investment," he said.

He admitted, the government had made various efforts to pursue these targets. Some projects have been decided on by the government. In addition, the government and the Special Task Force for Upstream Oil and Gas Business Activities (SKK Migas) have offered several potential basins to be explored.

"Many basic steps have been taken to create an investment climate, with the right contract scheme," McKenzie said.

The existence of the government's plan provides flexibility for oil and gas companies to choose a production sharing contract (PSC) scheme, according to McKenzie as a positive step. This is because each oil and gas project has different risks and results.

"This is something we have suggested, this flexibility is a step in the right direction. But we need to understand further what this [flexibility] means, "he said.

According to McKenzie, further discussion with the government regarding the flexibility of the contract is needed. An attractive investment climate is not automatically formed, a PSC is needed to realize this which also takes time to form. This is related to building a good foundation for investors.

"IPA is waiting for an opportunity to learn more about the plans of the Minister [Minister of Energy and Mineral Resources] on this matter. But this decision on contract flexibility has the potential to be a positive foundation for the oil and gas industry, "he explained.

Previously, Minister of Energy and Mineral Resources (ESDM) Arifin Tasrif said, his party had held a dialogue with investors in the oil and gas sector. He asked PSC which scheme was more attractive to oil and gas companies than the two schemes implemented in Indonesia, namely gross split and cost recovery. From this dialogue, he continued, the government opened options where oil and gas companies could negotiate the PSC scheme to be signed.

"The flexibility option is there. I say, if a gross split, people are happy for sure. If they are high risk, they prefer PSC cost recovery, "he said.

Based on data from the Ministry of Energy and Mineral Resources, the realization of upstream oil and gas investment has continued to decline since 2014, which once reached the US $ 20.38 billion. After that, the realization of upstream oil and gas investment was cut to the US $ 15.24 billion in 2015, US $ 11.56 billion in 2016, and reached a low of US $ 10.26 billion in 2017. In 2018, the realization of oil and gas investment rose slightly to the US $ 11.99 billion. While this year's investment projections are around the US $ 12 billion. In accordance with the national oil, lifting had reached 861 thousand BPD in 2012.

However, the realization of this oil lifting continued to fall to 779 thousand BPD in 2015. Oil lifting increased slightly in 2016 to 829 thousand BPD. After that, the realization of oil lifting continues to fall to 804 thousand BPD in 2017 and 778 thousand BPD in 2018. Until the end of this year, oil production is projected to be 746.2 thousand BPD.

Production Optimization

On the other hand, McKenzie added that the national oil and gas industry faces the challenge of how to optimize and increase national oil and gas production. This has become the focus of joint cooperation contract contractors (KKKS) with SKK Migas. From a technical aspect, even KKKS has an exploration community that discusses the identification of new basins and how to encourage new exploration.

"We also discussed aspects of education, such as simplifying the rules and also related to funding and taxation. In most of these aspects, IPA is working with SKK Migas to support each other, "he said.

IPA Vice President Ronald Gunawan added that the simplification of licensing and regulations made by the previous government was a positive step. He hopes that this step will be continued by the new government.

"Hopefully it will get better," he said.

Because continued McKenzie, Indonesia's energy needs continue to increase along with economic growth. On the other hand, Indonesia's oil and gas production has decreased by about half in the last 15 years. IPA supports the government to produce more energy for Indonesia.

"IPA sees our role as a partner of the Government of Indonesia, to help find ways to make Indonesia's investment climate competitive globally and attract the investment needed," he stressed.

IPA has held the 48th Annual General Meeting which changes the Supervisory Board and Board of Directors which will be on duty in 2020. At present, the Supervisory Board is led by Kuntoro Mangkusubroto, who was a former Minister of Mines and Energy in the period 1998 to 1999 and served as Head of UKP4 (Presidential Work Unit for Development Supervision and Control) from 2009 to 2014.

Louise McKenzie 

While ExxonMobil Cepu Limited (EMCL) President Director Louise McKenzie was elected as IPA President and was accompanied by 12 other oil and gas company leaders in Indonesia who are members of the IPA Board of Directors.

IN INDONESIA

Butuh Investasi Besar Capai Produksi Minyak 1 Juta BPH


Indonesian Petroleum Association (IPA) menyatakan membutuhkan investasi yang sangat besar untuk mengejar target produksi minyak nasional 1 juta barel per hari (bph) pada 2030. Adanya rencana pemerintah untuk memberikan fleksibilitas skema kontrak migas merupakan langkah positif untuk meningkatkan investasi hulu migas nasional.

Presiden IPA Louise McKenzie mengatakan, target produksi minyak 1 juta bph cukup berat diwujudkan jika hanya mengandalkan blok migas yang saat ini sudah ada. Untuk mengejar target tersebut, perlu adanya proyek migas baru, bahkan temuan cadangan migas baru. Pasalnya, diperlukan tambahan produksi minyak yang juga dapat menutup penurunan produksi dari blok migas yang sudah beroperasi.

“Itu akan membutuhkan investasi cukup besar,” kata dia.

Diakuinya, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengejar target tersebut. Beberapa proyek telah diputuskan pengerjaannya oleh pemerintah. Selain itu, pemerintah dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) telah menawarkan beberapa basin yang potensial untuk dieksplorasi.

“Banyak langkah-langkah mendasar yang mulai dijalankan sehingga menciptakan iklim investasi, dengan skema kontrak yang tepat,” ujar McKenzie.

Adanya rencana pemerintah memberikan fleksibilitas bagi perusahaan migas untuk memilih skema kontrak kerja sama (production sharing contract/PSC), dinilai McKenzie sebagai langkah positif. Hal ini lantaran setiap proyek migas memiliki resiko dan hasil yang berbeda-beda.

“Ini sesuatu yang telah kami sarankan, adanya fleksibilitas ini merupakan langkah menuju arah yang tepat. Tetapi kami perlu memahami lebih lanjut apa maksudnya [fleksibilitas] ini,” tuturnya.

Menurut McKenzie, butuh diskusi lebih lanjut dengan pemerintah terkait penjelasan fleksibilitas kontrak ini. Iklim investasi yang menarik tidak otomatis terbentuk, diperlukan adanya PSC untuk mewujudkan hal tersebut yang juga membutuhkan waktu dalam pembentukannya. Hal ini terkait dengan membangun pondasi yang baik bagi investor.

“IPA menunggu kesempatan untuk mempelajari lebih lanjut rencana Menteri [Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral] tentang hal ini. Tetapi keputusan ini fleksibilitas kontrak memiliki potensi menjadi pondasi positif bagi industri migas,” jelasnya.

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menuturkan, pihaknya sudah melakukan dialog dengan para investor di sektor migas. Pihaknya menanyakan PSC skema mana yang lebih menarik bagi perusahaan migas dari dua skema yang diterapkan di Indonesia, yaitu gross split dan cost recovery. Dari dialog ini, lanjut dia, pemerintah membuka opsi di mana perusahaan migas bisa menegosiasikan skema PSC yang akan diteken. 

“Opsi fleksibilitas itu ada. Saya bilang, kalau gross split, orang senang yang sudah pasti. Kalau yang high risk, mereka lebih ke PSC cost recovery,” kata dia. 

Berdasarkan data Kementerian ESDM, realisasi investasi hulu migas terus turun sejak 2014 yang pernah mencapai US$ 20,38 miliar. Setelah itu, realisasi investasi hulu migas terpangkas menjadi US$ 15,24 miliar pada 2015, US$ 11,56 miliar pada 2016, dan mencapai titik terendah US$ 10,26 miliar pada 2017. Di 2018, realisasi investasi migas naik sedikit menjadi US$ 11,99 miliar. Sementara proyeksi investasi tahun ini sekitar US$ 12 miliar. Sesuai dengan lifting minyak nasional sempat mencapai 861 ribu bph pada 2012. 

Namun, realisasi lifting minyak ini terus turun menjadi 779 ribu bph pada 2015. Lifting minyak kembali naik sedikit pada 2016 menjadi 829 ribu bph. Setelah itu, realisasi lifting minyak terus turun menjadi 804 ribu bph pada 2017 dan 778 ribu bph pada 2018. Hingga akhir tahun ini, produksi minyak diproyeksikan sebesar 746,2 ribu bph. 
Optimasi Produksi 

Di sisi lain, McKenzie menambahkan industri migas nasional menghadapi tantangan bagaimana mengoptimasikan dan meningkatkan produksi migas nasional. Hal ini menjadi fokus bersama kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) dengan SKK migas. Dari aspek teknis, bahkan KKKS memiliki komunitas eksplorasi yang membahas identifikasi basin baru dan bagaimana mendorong eksplorasi baru.

“Kami juga membahas aspek regukasi, seperti penyedehanaan aturan dan juga terkait pendanaan dan perpajakan. Di sebagian besar aspek ini, IPA bekerja sama dengan SKK Migas untuk saling mendukung,” kata dia.

Wakil Presiden IPA Ronald Gunawan menambahkan, penyederhanaan perizinan dan peraturan yang telah dilakukan pemerintah sebelumnya merupakan langkah positif. Pihaknya berharap langkah ini akan dilanjutkan oleh pemerintahan yang baru ini.

“Dengan harapkan akan semakin baik lagi,” ujarnya.

Pasalnya, lanjut McKenzie, kebutuhan energi Indonesia terus meningkat seiring pertumbuhan ekonominya. Di sisi lain, produksi migas Indonesia telah berkurang hingga sekitar setengahnya dalam 15 tahun terakhir. IPA mendukung pemerintah untuk memproduksi energi yang lebih banyak bagi Indonesia.

“IPA melihat peran kami sebagai mitra Pemerintah Indonesia, untuk membantu mencari cara untuk membuat iklim investasi Indonesia kompetitif secara global dan menarik investasi yang dibutuhkan,” tegas dia. 

IPA telah menggelar Rapat Umum Tahunan (Annual General Meeting) yang ke-48 yang mengubah Dewan Pengawas dan Dewan Direksi yang akan bertugas pada 2020. Saat ini, Dewan Pengawas dipimpin oleh Kuntoro Mangkusubroto, yang merupakan mantan Menteri Pertambangan dan Energi pada periode 1998 hingga 1999 dan pernah menjabat sebagai Kepala UKP4 (Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan) periode 2009 hingga 2014. 

Sedangkan Presiden Direktur ExxonMobil Cepu Limited (EMCL) Louise McKenzie dipilih menjadi Presiden IPA dan didampingi 12 pemimpin perusahaan migas lainnya di Indonesia yang tergabung dalam Dewan Direksi IPA.

Investor Daily, Page-9, Thursday, Dec 5,  2019

No comments:

Post a Comment

POP UNDER

Iklan Tengah Artikel 1

NATIVE ASYNC

Iklan Bawah Artikel