Anggota Komisi VII DPR RI, Satya Yudha Widya menilai untuk melakukan tata kelola distribusi migas mulai dari hulu ke hilir diperlukan keterlibatan negara. Sebab, dalam tiga bulan terakhir ini distribusi BBM dan dan gas elpiji sering mengalami kendala di tingkat hilir (bawah). Kebijakan satu harga BBM itu sebenarnya bukan fenomena baru, karena sejak era Orde Baru Pak Harto kebijakannya ya seperti itu.,” tegas anggota Komisi VII DPR RI, Satya Yudha Widya pada lokakarya media SKK Migas dan KKKS Jabanusa di Semarang, 2-4 November lalu.
Acara yang dibuka langsung Kepala SKK Migas Jabanusa Ali Masyhar ini juga menampilkan nara sumber Agus Cahyono Adi (Dirjen Pembinaan Program Migas Kementerian ESDM), Sarnpe L Purba (Kepala Divisi Komersialisasi Gas SKK Migas) Dadang H Kodri ( Sekjen Asosiasi Pedagan Pupuk Indonesia). Saat ini penataan di hilir mengalami persoalan. Sebab infrastruktur belum lengkap, sehingga persoalan harga, BBM di bawah sering menjadi persoalan. Menurtunya saat ini Indonesia butuh 3 pilar dalam bidang energi.
Ketiga pilar itu adalah ketahanan energi, kemandirian energi dan kedaulatan energi. Satu harga BBM lanjutya bertujuan untuk mendinamisasi aktifitas industri, khususnya industri manufaktur di Indonesia, dan penerapan prinsip keadilan atas harga BBM di semua provinsi di Indonesia. Satya membaca bahwa keterlibatan pemerintah di ranah hulu migas terlibat lebih intens dan ketat dibanding di wilayah hilir migas. Karena itu, di wilayah hilir migas banyak diterapkan prinsip business to business dalam pemanfaatan hasil produksi hulu migas. Selain itu, yang terlibat juga lebih banyak antara privat to privat.
Karena pihak yang terlibat cukup banyak di ranah hilir migas, terjadi pembengkakan nilai margin sebelum produk migas itu sampai di end user. Fakta ini yang mengakibatkan timbulnya banyak problem di tata kelola energi, khususnya migas, secara nasional. Di samping paradigma ketahanan dan kemandirian energi masih jauh dari cita ideal nasional. Dibanding dengan Jepang, negara yang tak memiliki sumber daya energi seperti migas dan batubara, tingkat ketahanan energi negeri Sakura itu lebih baik dan mantap dibandingkan Indonesia. Cuma Jepang juga tak memiliki kemandirian energi, karena hampir 100% energinya hasil impor.
Problem terberat Indonesia di sisi ketahanan dan kemandinan energi. Meski negara berpenduduk lebih 280 juta jiwa ini memiliki sejumlah ragam sumber energi, ternyata Indonesia mengimport sejumlah produk energi dalam volume tak kecil. Contohnya untuk pemenuhan kebutuhan elpiji nasional saja, sebanyak 60% dia antaranya dari hasil import. Begitu pun minyak. Tiap hari kebutuhan minyak secara nasional berada di kisaran 1,5 juta barel sampai 1,6 juta barel.
Di sisi lain, lifting minyak secara nasional bergerak di angka 820 ribu barel sampai 830 ribu barel per hari. Karena itu, defisit kebutuhan minyak ditutup dengan import dari sejumlah negara di kawasan Timur Tengah. Diperkirakan pada 2046 nanti, cadangan batubara kita akan habis. Untuk minyak diprediksi habis pada 2029 dan gas bumi pada 2050. Khusus untuk minyak dan gas bumi, untuk meningkatkan cadangan nasional dibutuhkan program eksplorasi migas secara besar-besaran, tepat, dan berkelanjutan. Padahal untuk mendrive pertumbuhan dan akselerasi perekonomian nasional dibutuhkan ketersediaan energi yang cukup dan jaminan pasokan energi. Tanpa itu, sektor perekonomian tak mungkin bergerak dan tak bisa tumbuh.
Duta Masyarakat, Halaman : 16, Sabtu, 5 Nop 2016