Gross Split Scheme
Wood Mackenzie, an international research institute, recently released a report about the latest innovations through the government scheme for gross proceeds or gross split for the upstream oil and gas.
And the report concluded that it was paid with gross profit sharing scheme, investors are increasingly reluctant to invest in Indonesia. Scheme for gross proceeds of the cooperation contract will bear its own costs. In contrast to the profit-sharing scheme cost recovery, the entire oil and gas production costs will be paid by the state.
With the issuance of Decree No. 8/2017, the government offers more flexible results with calculations more objective through incentives in the form of part (split) for government contractors bid start with our government and contractor respectively 57%: 43% for oil projects and 52%: 48% for the gas project.
Part contractor could still grow further adapted to challenges in the field via a variable for the results. In addition, the government also offers dynamic results are determined based on the level of oil prices and the accumulation of production. The government could divide part of the contractor a maximum of 5% if the economic field is still less attractive.
Johan Utama. analysts Wood Mackenzie said that there are some weaknesses scheme split compared to gross profit-sharing contract cost recovery current based on the report. First, the development of gas projects will be increasingly difficult. Because, to get the same economical with the current scheme, the contractor needs to cut costs by 30% for oil projects and 75% for gas projects in order to obtain economies of the same when using the cost recovery scheme.
Second, for the time investors will be waiting whether this policy will last a long time because it is set in the form of Regulation of the Minister of EMR because there is no certainty whether the change in the scheme will be accommodated in the revision of Law No. 22/2001 on Oil and Gas.
Thirdly, the scheme gross split makes Indonesia less appeal now that the fiscal problems become an obstacle to new investment that comes from the enlarged state and the contractor must bear its own costs.
Deputy Minister Anzandra Tahar said, the main purpose of the creation of gross split to cut the length of the process administration in the government that must be passed contractor of the search for oil and gas resources to the production period.
According to him, the time savings contributed in the economic calculations of the project. Currently the time required contractors to produce oil even more long despite increasingly sophisticated technology.
CROP OF BUREAUCRACY
Arcandra realize that this time is more difficult to get oil reserves. However, it is not only due to factors in the field are more difficult, but the process within the government that it makes oil and gas production slowed. In fact, the more sluggish the well or oil and gas field production, the time required to gain increasingly longer.
Governments have a greater part must have been reluctant to accept the risk of reduction in revenue due to the actual length of the process can be suppressed by the government.
Arcandra rate, there is an accelerated process that can be done with a gross split for upstream activities are no longer following corporate governance guidelines (PTK) Special Unit 007 of the Upstream Oil and Gas (SKK Migas). Meanwhile, Minister Ignatius Jonan said the oil and gas industry is actually controlled by the global market game because no one can predict with certainty that global crude oil prices.
Therefore, the efficiency being the only way for oil and gas companies to be able to win the competition in the sector. On the other hand, the government wants a more definite state revenues due to the result on a gross basis without counting cut operating costs. However, President Director of PT Medco Internasional Tbk Enelgi, Hilmi Panigoro said that all policies ultimately boils down to an assessment of whether quite attractive when compared with other countries. Because, all oil and gas companies in the upstream sector under pressure from declining oil prices and no one knows for sure the oil price movements.
Flexibility, infrastructure availability rates of return on capital through fiscal terms offered were quite safe in the volatility of oil prices during the contract runs. Additionally need political stability. Behind all the speculation which is true analysis of gross split, all will be answered after the government opened the bidding new work area in May 2017 and the continuation of the work area will be out of contract. Are large companies such as Chevron, ExxonMobil, Total, BP will IKT download queue in the offer being made?
If no interest in investing, there will be no activity to find new oil and gas sources. If there is no new oil and gas sources, there will not be a source of production and there will be no oil and gas are produced.
IN INDONESIAN
Menguji Untung Rugi Skema Gross Split
Wood Mackenzie, sebuah lembaga riset internasional, belum lama ini mengeluarkan laporan terbarunya soal inovasi pemerintah melalui skema bagi hasil kotor atau gross split bagi industri hulu minyak dan gas bumi.
Dan laporan berbayar itu disimpulkan bahwa dengan skema bagi hasil kotor, investor semakin enggan menanamkan modalnya di Indonesia. Skema bagi hasil kotor tersebut, kontraktor kontrak kerja sama akan menanggung biaya sendiri. Berbeda dengan skema bagi hasil cost recovery, seluruh biaya produksi migas akan dibayarkan oleh negara.
Dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri No. 8/2017, pemerintah menawarkan bagi hasil yang lebih fleksibel dengan perhitungan yang lebih objektif melalui insentif berupa bagian (split) bagi kontraktor Pemerintah memulai tawaran dengan bagian pemerintah dan kontraktor masing-masing 57% : 43% untuk proyek minyak dan 52% : 48% untuk proyek gas.
Bagian kontraktor selanjutnya masih bisa bertambah yang disesuaikan dengan tantangan di lapangan melalui variabel bagi hasil. Selain itu, pemerintah pun menawarkan bagi hasil dinamis yang ditetapkan berdasarkan level harga minyak dan akumulasi produksi. Pemerintah bisa membagi bagian kontraktor maksimum 5% jika keekonomian lapangan masih kurang menarik.
Analis Wood Mackenzie Johan Utama mengatakan bahwa ada beberapa kelemahan skema gross split dibandingkan dengan kontrak bagi hasil cost recovery yang berlaku saat ini berdasarkan laporan itu. Pertama, pengembangan proyek gas akan semakin sulit. Pasalnya, untuk mendapatkan keekonomian yang sama dengan skema yang berlaku saat ini, kontraktor perlu memangkas biaya sebesar 30% untuk proyek minyak dan 75% untuk proyek gas agar bisa memperoleh keekonomian yang sama bila menggunakan skema cost recovery.
Kedua, untuk sementara waktu investor akan menanti apakah kebijakan ini akan bertahan lama karena hanya diatur dalam bentuk Peraturan Menteri ESDM karena belum ada kepastian apakah perubahan skema ini akan diakomodasi dalam revisi Undang-Undang No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Ketiga, skema gross split membuat indonesia semakin tidak memiliki daya tarik karena kini masalah fiskal menjadi penghambat baru berinvestasi yang berasal dari bagian negara membesar dan kontraktor harus menanggung sendiri biaya yang dikeluarkan.
Wakil Menteri ESDM Anzandra Tahar mengatakan, tujuan utama diciptakannya gross split untuk memangkas lamanya proses administlasi di tubuh pemerintah yang harus dilalui kontraktor dari masa pencarian sumber migas hingga masa produksi.
Menurutnya, penghematan waktu turut memberikan kontribusi dalam perhitungan keekonomian proyek. Saat ini waktu yang diperlukan kontraktor untuk menghasilkan minyak justru semakin lama meskipun teknologi semakin canggih.
PANGKAS BIROKRASI
Arcandra menyadari bahwa saat ini jelas lebih sulit mendapatkan cadangan minyak. Namun, hal itu tidak hanya disebabkan faktor di lapangan yang semakin sulit, tetapi proses di lingkungan pemerintah yang ternyata membuat produksi migas semakin lamban. Padahal, semakin lamban sebuah sumur atau lapangan migas berproduksi, waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan keuntungan kian lama.
Pemerintah yang memiliki bagian lebih besar pastinya enggan menerima resiko berkurangnya penerimaan negara akibat lamanya proses yang sebenarnya bisa ditekan sendiri oleh pemerintah.
Arcandra menilai, terdapat percepatan proses yang bisa dilakukan dengan gross split karena kegiatan hulu tidak lagi mengikuti pedoman tata kelola (PTK) 007 dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Sementara itu, Menteri ESDM Ignasius Jonan mengatakan, industri migas sebenarnya dikendalikan oleh permainan pasar global karena tidak ada satu pun yang bisa meramalkan secara pasti harga minyak mentah dunia.
Oleh karena itu, efisiensi menjadi satu-satunya cara bagi perusahaan migas untuk bisa memenangi persaingan di sektor itu. Di sisi lain, pemerintah menginginkan penerimaan negara yang lebih pasti karena bagi hasil dipotong secara kotor tanpa menghitung biaya operasi. Namun, Presiden Direktur PT Medco Enelgi Internasional Tbk, Hilmi Panigoro mengatakan, semua kebijakan akhirnya bermuara pada satu penilaian apakah cukup menarik bila dibandingkan dengan negara lain. Pasalnya, semua perusahaan migas di sektor hulu tertekan sejak menurunnya harga minyak dan tak ada yang mengetahui pasti gerak harga minyak.
Fleksibilitas, ketersediaan infrastruktur angka pengembalian modal melalui syarat-syarat fiskal yang ditawarkan yang cukup aman dalam volatilitas harga minyak selama kontrak berjalan. Selain itu butuh stabilitas politik. Di balik semua spekulasi analisis mana yang benar tentang gross split, semua akan terjawab setelah pemerintah membuka penawaran wilayah kerja baru pada Mei 2017 dan kelanjutan wilayah kerja yang akan habis masa kontraknya. Apakah perusahaan besar seperti Chevron, ExxonMobil, Total, BP akan ikt ambil antrean dalam penawaran yang dilakukan?
Bila tidak ada yang minat berinvestasi, tidak akan ada kegiatan untuk mencari sumber migas baru. Bila tidak ada sumber migas baru, tidak akan ada sumber produksi dan tidak akan ada migas yang dihasilkan.
Bisnis Indonesia, Page-30, Monday, March, 27, 2017