google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 All Posts - MEDIA MONITORING OIL AND GAS -->

MARKET

Tuesday, May 23, 2017

National Infrastructure Still Capable of Gathering of Imported Gases



The capacity of the national gas infrastructure is still able to accommodate additional supply if Indonesia starts importing liquefied natural gas / LNG by 2020. However, infrastructure development must be done to state the gas supply.

Gas Director of PT Pertamina Yenny Andayani said the volume of imported gas should be in line with the capacity of existing LNG recipients and regasification facilities in Indonesia. The reason, unlike oil, LNG although liquid-shaped can not be stored in a carrier ship tethered at sea. This will make the liquid gas longer evaporate or even an accident that is not in want.

In Indonesia, the capacity of existing recipients and regasification facilities can still accommodate imported gas. So if you look at the facilities, still adequate if the required volume is still in the early stages and ramp up (will go up).

Indonesia has three LNG receiving and regasification facilities, namely in West Java, Lampung and Arun. Yenny detailed that LNG facilities in West Java and Arun, each having a capacity of about 3-3.5 million tons per year. Currently, both facilities have not been fully utilized.

Then, LNG facility in Lampung managed by PT PGN Tbk with a capacity of 2 million tons per year and not fully utilized. However, Indonesia needs to be wary of the growth of national gas needs in the future.

One of them whether the existing facilities at this time the distribution in accordance with the center of gas needs. Then to note also is the growth of gas utilization in the future how fast.

For that, he said, it needed a synergy between Pertamina and PGN to optimize the existing gas infrastructure. One of them is how to have the existing recipient and regasification facilities, both owned by Pertamina and PGN, can be utilized together.

Likewise, existing pipe infrastructure can also be shared. It is then necessary to ascertain whether FSRUs (floating storage and regasification units) are required. This is only Sumatra and Java, how is the archipelago of East Indonesia?

However, Yenny added that currently Indonesia still does not need to import gas to meet domestic needs. Indonesia still has an excess supply of LNG that can be utilized by domestic consumers. The reason, so far the national LNG consumer only PT PLN Imports 2020

Yenny estimates gas imports will be needed by 2020. This estimate assumes an increase in normal gas demand where demand for electricity grows from 3% to 6% and other parameters determined by the government.

In the upstream oil and gas sector, large gas fields in Indonesia, such as the Masela Block and East Natuna, are still under development. So there is a gas supply deficit. Pertamina and PGN should anticipate how secure gas supply for the country can be.

Pertamina has signed an LNG import contract with a US company. Pertamina signed a contract with Cheniere Energy Inc. subsidiary, Corpus Christi Liquefaction Liability Company, to supply LNG of 0.76 million tons per year for 20 years starting 2019. Pertamina has also contracted with Cheniere Energy with the same volume for 20 years, but Starting in 2018.

Finally, Pertamina has just signed LNG import contract with ExxonMobil with volume of 1 million tons per year for 20 years starting from 2025. Yenny added, although the three contracts with US company, gas source of Pertamina does not mean from Uncle Sam's country alone. Exxon-Mobil said it has a variety of gas sources in the world that become the flexibility for Pertamina.

IN INDONESIAN

Infrastruktur Nasional Masih Mampu Tampung Gas Impor


Kapasitas infrastruktur gas nasional masih mampu menampung tambahan pasokan jika Indonesia mulai mengimpor gas alam cair/LNG pada 2020 nanti. Namun, pembangunan infrastruktur harus tetap dilakukan untuk memeratakan pasokan gas.

Direktur Gas PT Pertamina Yenny Andayani mengatakan, volume gas yang diimpor harus sesuai dengan kapasitas fasilitas penerima dan regasifikasi LNG yang ada di Indonesia. Pasalnya, tidak seperti minyak, LNG meski berbentuk cair tidak dapat disimpan dalam kapal pengangkut yang ditambatkan di laut. Hal ini akan membuat gas cair semakin lama menguap atau bahkan terjadi kecelakaan yang tidak di inginkan.

Di Indonesia, kapasitas fasilitas penerima dan regasifikasi yang ada masih dapat menampung gas yang di impor. Jadi kalau lihat fasilitas, masih memadai kalau volume yang diperlukan masih di tahap awal dan ramp up (akan naik).

Indonesia memiliki tiga fasilitas penerima dan regasifikasi LNG, yakni di Jawa Barat, Lampung, dan Arun. Yenny merinci, fasilitas LNG di Jawa Barat dan Arun, masing-masing memiliki kapasitas sekitar 3-3,5 juta ton per tahun. Saat ini kedua fasilitas tersebut belum dimanfaatkan sepenuhnya.

Kemudian, fasilitas LNG di Lampung yang dikelola PT PGN Tbk berkapasitas 2 juta ton per tahun dan belum sepenuhnya dimanfaatkan. Hanya saja, Indonesia perlu mewaspadai pertumbuhan kebutuhan gas nasional ke depannya. 

Salah satunya apakah fasilitas yang ada saat ini sebarannya sesuai dengan pusat kebutuhan gas. Kemudian yang perlu diperhatikan juga adalah pertumbuhan pemanfaatan gas di masa mendatang seberapa cepat.

Untuk itu, dikatakannya diperlukan sinergi antara Pertamina dan PGN untuk mengoptimalkan infrastruktur gas yang ada. Salah satunya bagaimana agar fasilitas penerima dan regasifikasi yang ada, baik milik Pertamina dan PGN, dapat dimanfaatkan bersama.

Demikian juga infrastruktur pipa yang ada juga dapat dipakai bersama. Kemudian perlu memastikan apakah diperlukan lagi FSRU (floating storage and regasification unit/fasilitas penerima dan regasifikasi terapung). Ini hanya Sumatera dan Jawa, bagaimana Indonesia Timur yang sifatnya kepulauan?

Meski demikian, Yenny menambahkan, saat ini Indonesia masih belum perlu mengimpor gas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Indonesia justru masih mempunyai kelebihan pasokan LNG yang dapat dimanfaatkan konsumen domestik. Pasalnya, sejauh ini konsumen LNG nasional hanya PT PLN Impor 2020

Yenny memperkirakan impor gas akan diperlukan pada 2020 nanti. Perkiraan ini dengan asumsi kenaikan kebutuhan gas normal di mana pertumbuhan kebutuhan listrik naik dari 3% menjadi 6% dan parameter lain yang ditentukan pemerintah. 

Sementara di sektor hulu migas, lapangan gas besar di Indonesia, seperti Blok Masela dan East Natuna, masih dalam pengembangan. Sehingga terjadi defisit pasokan gas. Pertamina dan PGN harus mengantisipasi bagaimana bisa secure pasokan gas untuk dalam negeri.

Pertamina telah meneken kontrak impor LNG dengan perusahaan Amerika Serikat. Pertamina meneken kontrak dengan anak usaha Cheniere Energy Inc, yakni Corpus Christi Liquefaction Liability Company, untuk pasokan LNG sebesar 0,76 juta ton per tahun selama 20 tahun mulai 2019. Pertamina juga sudah berkontrak dengan Cheniere Energy dengan volume yang sama selama 20 tahun, namun dimulai pada 2018.

Terakhir, Pertamina baru saja meneken kontrak impor LNG dengan ExxonMobil dengan volume 1 juta ton per tahun selama 20 tahun yang berlaku mulai 2025. Yenny menambahkan, meski ketiga kontrak dengan perusahaan Amerika Serikat, sumber gas Pertamina bukan berarti dari Negeri Paman Sam itu saja. Exxon-Mobil dikatakannya memiliki berbagai sumber gas di dunia yang menjadi fleksibilitas bagi Pertamina.

Investor Daily, Page-9, Tuesday, May, 2, 2017

DEN Welcomes Positive Expansion of Pertamina Abroad



Expansion plans of upstream oil and gas sector of PT Pertamina in Russia and Iran are considered positive. Members of the National Energy Council (DEN) Tumiran said it was time for Pertamina to expand overseas. Moreover, domestic production continues to decline.

Expansion to Russia and Iran is good. We now have to find space. Because when the relationship with the west is not good, these countries still need to do business, need to sell products, need also investment. So, for Indonesia, this is an opportunity.

According to Tumiran, it is time for Pertamina to expand abroad, including Russia and Iran. Moreover, because domestic production continues to decline on the one hand, but still must have a guarantee of supply to Indonesia on the other side. In fact, various countries, do the same to ensure the supply in the country.

Other countries such as China for example, he is in Indonesia in the upstream sector. That is to provide guarantees to his country. America too. Hence, I think Pertamina should have space.

To that end, Tumiran expects Pertamina to prepare this expansion in detail. Not only the understanding of the regulations applicable in the country, but also about the technology of exploration and exploitation that will be used. Technology should not fail because it affects the cost. This matter must be well prepared by Pertamina.

Equally important, Pertamina must also prepare an international-level lawyer. The lawyer must really understand the policies in the country. Thus, if negotiation or dispute, then can immediately find a way out.

We must learn from experience, when our company happens dispute and we lose. So that should be well prepared. The Lawyer must master the correct chapters per chapter and word per word in English. Equally important, lawyers must take sides with Pertamina's interests.

Support for Pertamina's overseas expansion plans, including Russia and Iran, was also given by former House Speaker Marzuki Ali. According to Marzuki, investment in both countries is relatively safe. Moreover, Iran is not currently embargoed. Importantly, the investment is very profitable.

IN INDONESIAN

DEN Sambut Positif Ekspansi Pertamina ke Luar Negeri


Rencana ekspansi sektor hulu migas PT Pertamina di Rusia dan Iran dinilai positif. Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Tumiran mengatakan, sudah waktunya Pertamina melakukan ekspansi ke luar negeri. Apalagi, produksi dalam negeri yang terus menurun.

Ekspansi ke Rusia dan Iran bagus. Kita sekarang memang harus mencari ruang. Karena di saat hubungan dengan barat yang tidak bagus, negara-negara itu tetap perlu berbisnis, perlu menjual produk, perlu juga investasi. Jadi, untuk Indonesia, ini adalah kesempatan.

Menurut Tumiran, memang sudah waktunya Pertamina melakukan ekspansi ke luar negeri, termasuk Rusia dan Iran. Terlebih, karena produksi dalam negeri yang terus menurun di satu sisi, namun tetap harus punya jaminan pasokan ke Indonesia di sisi Iain. Bahkan, berbagai negara pun, melakukan hal yang sama untuk menjamin pasokan dalam negerinya.

Negara-negara lain seperti Cina misalnya, dia ada di Indonesia di sektor hulu. Itu untuk memberikan jaminan ke negaranya. Amerika juga begitu. Makanya, saya pikir Pertamina harus punya ruang.

Untuk itu, Tumiran berharap Pertamina mempersiapkan ekspansi ini secara detail. Tidak hanya pemahaman mengenai regulasi-regulasi yang berlaku di negara tersebut, namun juga mengenai teknologi ekplorasi dan eksploitasi yang akan dipergunakan. Teknologi jangan sampai gagal karena berpengaruh pada cost. Hal ini yang harus dipersiapkan dengan baik oleh Pertamina.

Tidak kalah penting, Pertamina juga harus mempersiapkan pengacara berlevel internasional. Pengacara tersebut harus betul-betul mengerti mengenai berbagai kebijakan di negara itu. Dengan demikian, jika negosiasi atau dispute, maka bisa segera mengetahui jalan keluar.

Kita harus belajar dari pengalaman, ketika perusahaan kita terjadi dispute dan kita kalah. Jadi itu yang harus dipersiapkan dengan baik Lawyer tersebut harus menguasai betul pasal per pasal dan kata per kata dalam Bahasa Inggris. Tidak kalah penting, lawyer harus berpihak pada kepentingan Pertamina.

Dukungan terhadap rencana ekspansi Pertamina ke luar negeri, termasuk Rusia dan Iran juga diberikan mantan Ketua DPR Marzuki Ali. Menurut Marzuki, investasi di kedua negara tersebut relatif aman. Apalagi, saat ini Iran sudah tidak diembargo. Yang penting, investasi yang dilakukan sangat menguntungkan.

Investor Daily, Page-9, Tuesday, May, 2, 2017

ELSA Get Three New Contracts



This year, PT Elnusa Tbk is optimistic that the business in upstream oil and gas sector is better than last year. Due to the impact of the improvements, issuers of the Indonesia Stock Exchange coded ELSA are diligent in following the various tenders at home and abroad.

As a result, there are two three-dimensional seismic contracts (3D) and one drilling contract. Rifqi Budi Prasetyo, ELSA Investor Relations, explains, there is already a project that one step to be signed and start doing workmanship. There are already prospective clients, big projects but are not yet official. It's a 3D seismic project, the project is pretty big. We have not dared to say, not yet official, maybe the next few weeks can already be announced.

Both contracts are both seismic and terrestrial seismic projects. Understandably, the company already has a new seismic vessel assets with 10 streamers capable of geophysical geology, environmental and fishery surveys.

He said the target was not much of a contract, but the seismic vessel could reach 100 percent utilization this year. ELSA hopes, the contribution of seismic vessels will nianipu boost corporate revenue significantly.

Seismic sea will be good when the price of oil is down, as well as for exploration in the sea will still be good because the government opened up many opportunities KKKS marine exploration.

With the achievement of the contract, the company targets this year's revenue to increase by 10 percent compared to last year. As of the first quarter of 2017, the company's revenue has seen a slight increase compared to the same period last year.

That is from Rp 921.1 billion, to Rp 969.92 billion or an increase of 5.3%. While last year ELSA posted sales of about Rp 3.6 trillion or decreased 4.1%.

Throughout the year 2016, upstream business ie seismic, drilling and oil field services accounted for 50% contribution. While logistics and energy distribution services accounted for 45% and the rest contributed from other supporting services. In addition to relying on upstream oil and gas business, ELSA is running a gas or flare gas power plant project. "Flare gas is already running, but I can not say yet about the target," Rifqi said.

IN INDONESIAN

ELSA Mendapatkan Tiga kontrak Baru

Tahun ini PT Elnusa Tbk optimistis, bisnis di sektor hulu migas lebih baik dibandingkan tahun lalu. Karena imbas perbaikan itu, emiten Bursa Efek Indonesia berkode ELSA tersebut rajin mengikuti berbagai tender di dalam maupun di luar negeri.

Hasilnya, ada dua kontrak seismik tiga dimensi (3D) dan satu kontrak pengeboran. Rifqi Budi Prasetyo, Hubungan Investor ELSA, menjelaskan, sudah ada proyek yang selangkah lagi akan ditandatangani dan mulai melakukan pengerjaan. Sudah ada calon klien, proyek besar tetapi memang belum resmi. Itu proyek seismik 3D, proyeknya lumayan besar. Kami belum berani bilang, belum resmi, mungkin beberapa pekan ke depan sudah bisa diumumkan.

Kedua kontrak itu merupakan proyek seismik darat maupun seismik laut. Maklum, perusahaan ini sudah memiliki aset kapal seismik baru dengan 10 streamer yang mampu melakukan survei geologi geofisika, lingkungan dan perikanan.

Dia mengatakan, terkaif target, bukan seberapa banyak kontrak yang didapat, tetapi kapal seismik tersebut bisa mencapai 100% utilisasi pada tahun ini. ELSA berharap, kontribusi dari kapal seismik akan nianipu mendongkrak pendapatan perusahaan secara signifikan. 

Seismik laut akan bagus di saat harga minyak yang sedang turun, maupun untuk eksplorasi di laut masih akan bagus karena pemerintah banyak membuka peluang KKKS melakukan eksplerasi laut.

Dengan pencapaian kontrak itu perusahaan menargetkan, pada tahun ini pendapatan bisa naik 10% dibandingkan tahun lalu. Sampai kuartal I 2017, pendapatan perusahaan ini terlihat sedikit meningkat dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu.

Yakni dari Rp 921,1 miliar, menjadi Rp 969,92 miliar atau meningkat 5,3%. Sedangkan sepanjang tahun lalu ELSA membukukan penjualan sekitar Rp 3,6 triliun atau menurun 4,1%.

Sepanjang tahun 2016, bisnis hulu yakni seismik, drilling dan oil field services menyumbang kontribusi 50%. Sedangkan jasa logistik dan distribusi energi menyumbang 45% dan sisanya kontribusi dari jasa penunjang lain.  Selain bertumpu pada bisnis hulu migas, ELSA sedang menjalankan proyek pembangkit tenaga gas buang atau Flare gas. "Flare gas sudah berjalan, tetapi saya belum bisa bilang soal targetnya,” kata Rifqi.

Kontan, Page-14, Tuesday, May, 2, 2017

Petronas Magic Rig So Floating Hotel



One important element in the oil and gas business (oil and gas) is the production platform or rig. As the aging well followed the platform's aging, oil and gas companies faced a dilemma.

Vice President of Engineering and Integrity PHE ONWJ Made Sukrajaya said Pertamina has 223 platforms. A total of 103 platforms are over 30 years old. A total of 78 platforms aged 21-30 years. In addition, there are 34 platforms 1 to 20 years old and 8 platforms less than 10 years old.

According to Made, 46 percent of Pertamina's plarform is already mature. The treatment costs a lot, so it is not worth the remaining oil and gas reserves. Meanwhile, the dismantling of the rig is costly. Therefore, Pertamina chose rejuvenate the plate form to extend the age.

If the design is for 20 years, with rejuvenation we can use up to 30 years, "said Made. Head of Civil and Environmental Engineering Department of Petronas Malaysia University Noor Amalia explained that there are four rigs owned by Shell and Petronas which have been decommissioned since 2003, especially offshore platform. The demolition of the 945,500 metric ton rig requires USD 18.79 billion to USD 46.53 billion (equivalent to Rp 618 trillion).

The cost is what the oil and gas company complains, Noor said. To get around the cost, oil and gas companies can make the rig as a place of development of coral reef (rig of reef). We are developing hotel designs on platfom so that rig can be an offshore tourist venue.

IN INDONESIAN

Petronas Sulap Rig Jadi Hotel Terapung


Salah satu elemen penting dalam bisnis minyak dan gas (migas) adalah platform atau rig produksi. Seiring uzurnya sumur yang diikuti menuanya platform, perusahaan migas dihadapkan pada dilema.

Vice President Engineering and Integrity PHE ONWJ Made Sukrajaya menyatakan, Pertamina memiliki 223 platform. Sebanyak 103 platform di antaranya berusia lebih dari 30 tahun. Sejumlah 78 platform berusia 21-30 tahun.  Selain itu, ada 34 platform yang berumur 1 1-20 tahun dan 8 platform kurang dari 10 tahun.

Menurut Made, 46 persen plarform milik Pertamina sudah mature. Perawatannya membutuhkan biaya besar sehingga tidak sepadan dengan cadangan migas yang tersisa. Sementara itu, pembongkaran rig menghabiskan dana besar. Karena itu, Pertamina memilih meremajakan plat form untuk memperpanjang usia. 

Bila desainnya untuk 20 tahun, dengan peremajaan bisa kami gunakan hingga 30 tahun,” kata Made. Head of Civil and Environmental Engineering Department University Petronas Malaysia Noor Amalia menjelaskan, ada empat rig milik Shell dan Petronas yang dibongkar (decommissioning) sejak 2003, terutama platform offshore. Pembongkaran rig seberat 945,500 metrik ton membutuhkan biaya USD 18,79 miliar hingga USD 46,53 miliar (setara Rp 618 Triliun). 

Besar biaya itulah yang lantas dikeluhkan perusahaan migas, kata Noor. Untuk menyiasati biaya, perusahaan migas bisa menjadikan rig sebagai tempat pengembangan terumbu karang (rig of reef). Kami sedang mengembangkan desain hotel di atas platfom sehingga rig bisa menjadi tempat wisata lepas pantai.

Jawa Pos, Page-5, Tuesday, May, 2, 2017

When should Indonesia Import LNG?



The government is determined to enlarge the portion of new and renewable energy consumption and reduce fossil energy consumption, especially oil and gas.

Therefore, the Minister of Energy and Mineral Resources Ignasius Jonan issued a decree related to the Electricity Supply Business Plan 2017-2026. From the plan it was found that the energy mix used to power the generator turbine generator changed.

RUPTL 2017-2026 and it is known that the new renewable energy mix up to 22.60% from the previous portion of 19.70%, the portion of coal rose slightly to 50.40% from 50.30% previously.

Meanwhile, the share of gas power generation fell to 26.60% from 29.40% previously, the last fuel oil (BBM) trimmed to 0.40% from 0.60% previously.

Thus, coal generating capacity in 2025 is 63,352 megawatts (MW), new renewable energy-based generator of 28,282 MW In addition, the total gas power plant (PLTVG) is 33,436 MW, while diesel-fueled generators operate at 503 MW

In addition, there are some changes related to the achievement of the 35,000 MW project that is likely to change the gas balance. As an illustration, from PLN data, from 2015 to March 10, 2017, out of a total of 359 MW newly generated 639 MW or 2% commercially operating. As a result, the installed capacity target in 2019 becomes 79,200 MW and when exactly should Indonesia import liquefied natural gas (LNG) or liquefied natural gas (LNG)? Gas Director of PT Pertamina Yenni Andayani said LNG is a unique business.

The reason is, unlike gas pipelines, LNG prices are strongly associated with oil prices. Associated with LNG imports, in fact must be supported by infrastructure. He calls the capacity of existing storage and regasification facilities sufficient to hold LNG cargoes whenever imports are made today. However, proper distribution is required.

In the country there are only four fasility in Benoa, Bali (owned by PT Pembangkitan Jawa Bali) with capacity of 50 million standard cubic feet per day / MMscfd, in Lampung (owned by PT Perusahaan Gas Negara Tbk with capacity of 240 MMscfd in Arun, Aceh (owned by Pertamina ) As well as in West Java (owned by PT Nusantara Regas) with total capacity of 400 MMscfd.

He also assessed, assuming economic growth, electricity consumption growth, LNG import is only done after 2020. However, as state-owned enterprises, Pertamina has the obligation to secure supply if it turns out economic growth and electricity consumption soared and make domestic capabilities supplying LNG lower Of necessity. LNG imports we buy and enter later in accordance with the deficit we see in accordance with predicted [Ministry] ESDM. After 2020.

Pertamina has made several agreements to bring in LNG cargoes from outside. Based on the record, there is an agreed LNG supply agreement.

First, Total long-term agreement with Pertamina for LNG supply of 0.40 million tons up to 1 million tons per year starting in 2020 and lasting for 15 years. The supply comes from the Corpus Christi Project, USA. Instead, Total will supply LNG to Pertamina with the same volume of 0.40 million-1 million tons per year.

Second, Pertamina has signed a gas sale and purchase agreement with Cheniere Energy Inc. subsidiary, Corpus Christi Liquefaction Liability Company to supply 0.76 million tons per year of LNG from 2019 for 20 years.

Thirdly, Pertamina has also contracted with Cheniere Energy with the same volume, but it starts in 2018 with a duration of 20 years.

Recently, Pertamina also signed a head of agreement with Exxon-Mobil to buy 20 million tons with a 20-year contract. Later, 1 million tons of LNG will be imported from Papua New Guinea from 2025.

According to Yenni, imports are an option because a number of projects that are deemed to be able to sustain domestic demand at that time are still in the development stage, even so slowly that development causes uncertainty.

For example, he mentioned the development project of Fast Natuna Block and Eternal Field, Masela Block. There are several fields, very large, Abadi, Natuna, but until now we are waiting for its development. The existing field is currently declining. We are faced with choices.

DOMESTIC FIELD

Meanwhile, Special Force Specialist for Oil and Gas Upstream Oil and Gas Executives (SKK Migas) Sampe L. Purba said domestic gas field is still able to supply domestic needs.

He admitted that some gas fields have decreased production. However, with a number of changing assumptions, the projected supply and demand for LNG has changed. He considers, the projection set too high.

He assumes that domestic LNG prices are still affordable. The thing that causes the gas price to be high is the cost of processing ie liquefaction and delivery of gas through pipes.

For example, in the case of piped gas prices in Medan and surrounding areas, the original gas price of US $ 12 per MMBtu could drop to US $ 9 per MMBtu by simply changing the gas supply.

The price of US $ 12 is due to the gas sold and the LNG imported from Tangguh. Meanwhile, the price of US $ 9 per MMBtu obtained from the nearest field because it is not necessary through the process of regasification. In fact, our domestic LNG is not absorbed in the domestic market. Also not right, as if the door to import LNG opened, so cheap [gas price].

With a number of assumptions used to establish supply capabilities and needs, the import option is not really something to avoid. Through a number of rules to maintain domestic production, such as the return on investment of upstream oil and gas business activities through Ministerial Regulation no. 26/2017, in fact there is still hope that domestic needs can be met without import.

However, the government needs to set a safe limit on the supply of imported LNG that must be provided. If 2020 or 2025 is the right time to import LNG, from now on the government should start looking for the source of supply, of course with a strict calculation to be appropriate. Of course, by including the assumptions of its infrastructure distribution.

IN INDONESIAN

Kapan Indonesia Harus lmpor LNG?


Pemerintah bertekad untuk memperbesar porsi pemakaian energi baru dan terbarukan serta mengurangi konsumsi energi fosil, khususnya minyak dan gas bumi.

Untuk itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan mengeluarkan surat keputusan terkait dengan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2017-2026. Dari rencana tersebut didapatkan bahwa bauran energi yang digunakan untuk menggerakkan generator turbin pembangkit berubah.

Dan RUPTL 2017-2026 diketahui bahwa bauran energi baru terbarukan naik menjadi 22,60% dari porsi sebelumnya 19,70%, porsi batu bara naik tipis menjadi 50,40% dari sebelumnya 50,30%.

Adapun, porsi pembangkit listrik tenaga gas turun menjadi 26,60% dari sebelumnya 29,40%, terakhir bahan bakar minyak (BBM) dipangkas menjadi 0,40% dari sebelumnya 0,60%.

Dengan demikian, kapasitas pembangkit batu bara pada 2025 sebanyak 63.352 megawatt (MW), pembangkit berbasis energi baru terbarukan sebesar 28.282 MW Selain itu, pembangkit listrik tenaga gas (PLTVG) total kapasitasnya 33.436 MW, sedangkan pembangkit berbahan bakar diesel yang beroperasi sejumlah 503 MW

Selain itu, terdapat beberapa perubahan terkait dengan capaian proyek 35.000 MW sehingga besar kemungkinan akan mengubah neraca gas. Sebagai gambaran, dari data PLN, sejak 2015 hingga 10 Maret 2017, dari total pembangkit 35.000 MW baru 639 MW atau 2% yang beroperasi secara komersial. 

     Alhasil, target kapasitas terpasang pada 2019 menjadi 79.200 MW lalu kapan sebenamya Indonesia harus mengimpor gas alam cair atau liquefafd natural gas (LNG)? Direktur Gas PT Pertamina Yenni Andayani mengatakan, LNG merupakan bisnis yang unik.

Pasalnya, berbeda dengan gas pipa, harga LNG sangat terkait dengan harga minyak. Terkait dengan impor LNG, sebenarnya harus didukung oleh infrastruktur. Dia menyebut kapasitas fasilitas penyimpanan dan regasifikasi yang ada cukup untuk menampung kargo LNG bila pun impor dilakukan hari ini. Namun, diperlukan persebaran yang tepat.

Di dalam negeri hanya terdapat empat fasilitas yakni di Benoa, Bali (milik PT Pembangkitan Jawa Bali) berkapasitas 50 million standard cubic feet per day/MMscfd, di Lampung (milik PT Perusahaan Gas Negara Tbk. berkapasitas 240 MMscfd di Arun, Aceh (milik Pertamina) serta di Jawa Barat (milik PT Nusantara Regas) dengan total kapasitas 400 MMscfd.

Dia pun menilai, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan konsumsi listrik, impor LNG baru dilakukan setelah 2020. Namun, sebagai badan usaha milik negara, Pertamina memiliki kewajiban mengamankan pasokan bila ternyata pertumbuhan ekonomi dan pengonsumsian listrik melonjak dan membuat kemampuan dalam negeri memasok LNG lebih rendah dari kebutuhan. Impor LNG yang kami beli dan masuk nanti sesuai dengan defisit yang kami lihat sesuai dengan prediksi [Kementerian] ESDM. Setelah tahun 2020.

Pertamina sudah melakukan sejumlah kesepakatan untuk mendatangkan kargo LNG dari luar. Berdasarkan catatan, terdapat kesepakatan pasokan LNG yang diteken sebelumnya.

Pertama, kesepakatan jangka panjang Total dengan Pertamina untuk pasokan LNG sebesar 0,40 juta ton sampai dengan 1 juta ton per tahun yang dimulai pada 2020 dan berlangsung selama 15 tahun. Pasokan tersebut berasal dari Proyek Corpus Christi, Amerika Serikat. Sebagai gantinya, Total akan memasok LNG ke Pertamina dengan volume yang sama yakni 0,40 juta-1 juta ton per tahun.

Kedua, Pertamina telah menandatangani perjanjian jual beli gas dengan anak usaha Cheniere Energy Inc., yakni Corpus Christi Liquefaction Liability Company untuk memasok 0,76 juta ton per tahun LNG mulai 2019 selama 20 tahun.

Ketiga, Pertamina juga sudah berkontrak dengan Cheniere Energy dengan volume yang sama, tetapi dimulai pada 2018 dengan durasi 20 tahun.

Belum lama ini, Pertamina juga menandatangani pokok perjanjian (head of agreement) dengan Exxon-Mobil untuk membeli 20 juta ton dengan kontrak 20 tahun. Nantinya, 1 juta ton LNG akan didatangkan dari Papua Nugini mulai 2025. 

Menurut Yenni, impor menjadi pilihan karena sejumlah proyek yang dianggap bisa menopang kebutuhan dalam negeri pada masa itu masih dalam tahap pengembangan, bahkan begitu lamban perkembangannya sehingga menyebabkan ketidakpastian.

Sebagai contoh, dia menyebut proyek pengembangan Blok Fast Natuna dan Iapangan Abadi, Blok Masela. Ada beberapa lapangan, sangat besar, Abadi, Natuna, tapi sampai saat ini kami nunggu perkembangannya. Lapangan yang ada saat ini mulai declining. Kami dihadapkan pada pilihan-pilihan.

LAPANGAN DOMESTIK

Sementara itu, Tenaga Ahli Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiata Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Sampe L. Purba mengatakan lapangan gas dalam negeri masih mampu menyuplai kebutuhan domestik. 

Dia mengakui, beberapa lapangan gas memang mengalami penurunan produksi. Namun, dengan sejumlah asumsi yang berubah, seharusnya proyeksi pasokan dan permintaan LNG pun berubah. Dia menganggap, proyeksi yang ditetapkan terlalu tinggi. 

Dia beranggapan bahwa harga LNG dalam negeri masih terjangkau. Hal yang menyebabkan harga gas menjadi tinggi ialah biaya pengolahan yakni pencairan dan penghantaran gas melalui pipa.

Sebagai contoh, pada kasus harga gas pipa di Medan dan sekitarnya, harga gas yang semula US$ 12 per MMBtu bisa turun menjadi US$9 per MMBtu hanya dengan mengubah pasokan gas.

Harga US$12 dikarenakan gas yang dijual berasal dan LNG yang didatangkan dari Tangguh. Sementara itu, harga US$9 per MMBtu didapat dari lapangan terdekat karena tidak perlu melaui proses regasifikasi. Bahkan, LNG domestik kita pun tidak terserap di pasar domestik. Juga tidak tepat, seolah-olah kalau pintu impor LNG dibuka, jadi murah [harga gasnya].

Dengan sejumlah asumsi yang digunakan untuk menetapkan kemampuan pasokan dan kebutuhan, opsi impor sebenarnya bukanlah sesuatu yang harus dihindari. Melalui sejumlah aturan untuk menjaga produksi dalam negeri, seperti pengembalian investasi kegiatan usaha hulu migas lewat Peraturan Menteri No. 26/2017, sebenarnya masih ada harapan bahwa kebutuhan domestik bisa terpenuhi tanpa impor.

Akan tetapi, pemerintah perlu menyiapkan batas aman pasokan LNG impor yang harus disediakan. Bila memang 2020 atau 2025 merupakan waktu yang tepat untuk mengimpor LNG, mulai sekarang pemerintah harus mulai mencari sumber pasokannya, tentu dengan perhitungan yang ketat agar tepat guna. Tentunya, dengan memasukkan asumsi sebaran infrastrukturnya. 

Bisnis Indonesia, Page-30, Tuesday, May, 2, 2017

PT COSL & Husky CNOOC Win, KPPU Cassation

Bidding conspiracy

KPPU will appeal the decision of the South Jakarta District Court which won the stronghold of PT COSL Indo and Husky CNOOC Madura Limited (HCML) related to tender conspiracy cases.


On the decision of the South Jakarta District Court ruling on Thursday (27/4), the panel of judges overturned the decision of the Business Competition Supervisory Commission. O3 / KPPU-L / 2016. KPPU's lawyer Nurul Fadilah said that although the court granted the objection to the reported parties I and II, it would not be able to refuse to prove the existence of the conspiracy.

According to him, it has been thought to appeal to the Supreme Court. Of course, there is a cassation direction. However, I will report first.

Meanwhile, PT COSL Indo and Husky-CNOOC Madura Limited (HCML) legal counsel, Teuku Raja Rajuanda from law firm Firmansyah and Co. Said that from the beginning KPPU's decision was judged.

This is because the Commission Council does not consider the facts presented by the witnesses reported. Of course, satisfied, and most importantly the panel of judges overturned the KPPU's decision. We are ready for the further legal process because there is no problem with our tender.

Tender of jack-up drilling services for BD services to support the drilling and completion of operations of Madura BD Structure located off Madura Strait KKS Madura. The estimated value of the project reached US $ 34.62 million.

On October 14, 2016, KPPU Commission Council read the verdict stating Husky CNOOC Madura Limited (Reported I) and PT COSL Indo (Reported II) violated Article 22 of Law no. S / 199. Both were reportedly punished to pay a fine of Rp 12,8 billion, and Rp 11,6 billion. Unsatisfied, the two reportedly filed an objection through the South Jakarta District Court. As a result, the court accepted the two business entities' objections.

Chief Judge Irwan said that no affiliation facts were found as mentioned by KPPU, which resulted in a tender conspiracy.

According to him, based on the witnesses presented by Husky CNOOC and PT COSL Indo in the case 03 / KPPU-L / 2016, showed that there are no unhealthy competition elements since the tender process has been running correctly.

The petitioner's objection can not be blamed on the provisions of Article 22 of Law no. 5 / 1999. The Assembly concludes, is not legally and convincingly proven that the applicant objected to violating the tender rules.

The panel of judges also considers that if Reported I and II violate Article 22 of Law no. 5/1999, then it should see the other party losing his rights.

In Article 22, it is mentioned that business actors are prohibited to conspire with other parties to arrange and or determine the winning bidder so that it can lead to unfair business competition.

Upon granting the objection petition filed with the case number 907 / Pdt.G.KPPU / 2016 / PN.Jkt.Sel, the judges acquitted the complainants of Husky-CNOOC Madura Limited (HCML) and PT COSL Indo from the payment of fines.

RECOMMENDATION

However, with the recommendation of the Commission Assembly to the Special Unit for Upstream Oil and Gas Business Executor (SKK Migas), the judge considered it appropriate, in anticipation of unhealthy competition in the tender process.

The recommendation of the KPPU Commission Assembly shall among others evaluate the procurement rules concerning the relation of ownership of shares between the goods provider and/or service with the user of the goods and/or services in the same tender process. The reason, it can trigger a conspiracy that hampers business competition.

Also, evaluating the tender related to the requirements of the domestic content level (TKDN) is more effective in reflecting its achievement, so that it is not only a statement of sole ability. In the case of a report handled by KPPU last year, the investigators concluded the alleged conspiracy between Husky-CNOOC Madura Limited and PT COSL Indo. The conspiracy can be seen from the affiliation between PT COSL Indo and Husky-CNOOC Madura Limited (HCML).

Besides, KPPU believes that the post bidding actions conducted by the reporters in the bidding process can be categorized as dishonest and unlawful. The reason, in addition to contrary to the provisions in the tender documents, is also not following the regulations.

Post bidding is the amendment, addition, replacement, and/or reduction of qualification assessment documents, tender documents, and/or bidding documents after the deadline for submission of documents is closed.

Bisnis Indonesia, Page-11, Tuesday, May 2, 2017

Questioning ExxonMobil Gas Export



Together with the visit of US Vice President Mike Pence, PT Pertamina has signed a contract with ExxonMobil related to the import of Liquefied Natural Gas (LNG) of 1 million tons per year. The contract comes into force in 2025 with a contract term of 20 years to 2045.

The signing of a joint venture contract between ExxonMobil and Pertamina was witnessed by US Vice President Mike Pence, Vice President Jusuf Kalla and Energy and Mineral Resources Minister Ignatius Jonan.

Through the Head of Communications Bureau of the Ministry of Energy and Mineral Resources, the Government has found at least two reasons underlying the decision to import LNG in large quantities from ExxonMobil. First, the import of LNG is done to get affordable price for Indonesian industry players, who have been buying gas in the country at a price more expensive than the price of gas abroad.

Industrial gas prices in Indonesia have been far more expensive than gas prices in Vietnam, Malaysia and Singapore. Indonesia with abundant gas reserves, industrial gas gas prices reached about US $ 11.2 to US $ 13.5 per Million Metric British Thermal Units (MMBtu). While in Vietnam and Singapore that do not have gas source, gas price is only US $ 4 per MMBtu in Singapore and US $ 7 per MMBtu in Vietnam.

The reason for getting affordable prices with LNG imports is not only anomalies, but also very fancy. The problem of high domestic gas prices has been experienced by industrial consumers since a year ago, while LNG import from ExxonMobil will be implemented in 2025.

An 8-year grace period between current problem and solution further indicates that the reason for LNG import from ExxonMobil is just to justify the government's decision to import LNG.

Secondly, the government said that starting from 2019 it is predicted that Indonesia should import gas to meet the increasing demand of gas from industrial and PLN consumers, due to gas deficit. At that time, gas production was no longer sufficient to supply gas consumption in the country, so it must import gas. Is it true?

According to data from BP Statistical Review of World Energy 2015, Indonesia has a huge reserve of natural gas, Indonesia currently has the third largest gas reserves in the Asia Pacific region, after Australia and China. Indonesia's gas reserves contribute about 1.5% of the world's total gas reserves.

Natural gas fields are scattered in several parts of Indonesia, including Arun Aceh, Bontang and Mahakam in East Kalimantan, Tangguh-Papua, Natuna and Masela, most of which are managed and operated by Foreign Companies, including Chevron, Total, ExxonMobil and Inpex .

Since the last 10 years in 2006-2015, gas production in Indonesia has been stable at an average of 76.12 MMBtu per year. The highest gas production reached 85.7 MMBtu in 2010, while production in 2015 still reaches 75.0 MMBtu. This production is expected to increase as the Masela Block and Natuna Block begin production in 2019.

While domestic gas consumption in the same period only reached an average of 39.36 MMBtu per year, only half of the total gas production in Indonesia, so the gas surplus, which is exported abroad. One of the reasons for the low gas absorption in the country is the limited infrastructure to deliver gas from upstream sources to industrial consumers including PLN.

In addition to the limitations of infrastructure, join traders non-infrastructure, more role as a broker, which helped boost the high price of gas in the country.

In the abundance of gas upstream indicated a surplus between production and consumption, Exxon Mobil's gas import decisions are not very accurate, which tends to be anomaly. Assessment is made that in 2019 Indonesia will experience gas deficit is not fundamental.

The data shows that there is a gas surplus, which indicates the amount of production is greater than consumption. The surplus has been exported far more than it used to supply domestic needs.

FORCED

It is no exaggeration to say that the assessment is merely a blunder justification for Indonesia's decision to import LNG from Exxon in large quantities on long-term contracts. Long-term contract termination for 20 years will be very harmful to Indonesia.

With such long-term contracts, Indonesia will be forced to keep LNG imports from ExxonMobil, both in the state of deficit and gas surplus, at a forward price.

In addition, ExxonMobil is expected to sell gas to Indonesia derived from gas sources from land in Indonesia, managed by ExxonMobil. If this allegation is true, it is very ironic for Indonesia to import LNG from ExxonMobil, whose gas source is exploited from its own country.

The ironic decision is not the actions of the Oil and Gas Mafia to hunt rente on LNG imports, but more due to the massive pressure of US Vice President visiting Indonesia. The indication, the LNG import decree contract from Exxon Mobil was signed when the US Vice President Pence visited Indonesia. In fact, Pence's pressure was also made to meet Freeport's demands in order to keep exporting concentrates, unprocessed and refined at the domestic Smelter.

Previously, the massive pressure of the US government also occurred in the reign of Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). At the time of the struggle for the Cepu Block management between Pertamina and ExxonMobil, SBY suddenly decided to hand over the Cepu Block management to ExxonMobil as a single operator. The decision of SBY is also signed along with the visit of US Secretary of State to Indonesia.

As a sovereign country, Indonesia should not be subject to various forms of pressure from the US Government, either to surrender the management of the Cepu Block, meet the demands of Freeport, or to decide on imports of gas from ExxonMobil.

The various decisions of the Indonesian government, which are based on US government pressure, potentially not only violate prevailing laws but also harm the interests of the Republic of Indonesia.

IN INDONESIAN

Menyoal lmpor Gas ExxonMobil


Bersamaan dengan kunjungan Wakil Presiden (Wapres)  Amerika Serikat (AS) Mike Pence, PT Pertamina telah menandatangani kontrak dengan ExxonMobil terkait impor Liquefied Natural Gas (LNG) sebanyak 1 juta ton per tahun. Kontrak itu mulai berlaku pada 2025 dengan jangka kontrak selama 20 tahun hingga 2045.

Penandatanganan kontrak kerja sama antara ExxonMobil dengan Pertamina disaksikan langsung oleh Wapres AS Mike Pence, Wapres Republik Indonesia Jusuf Kalla, serta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan.

Melalui Kepala Biro Komunikasi Kementerian ESDM RI, Pemerintah mengemukan paling tidak ada dua alasan yang mendasari keputusan untuk impor LNG dalam jumlah besar dari ExxonMobil. Pertama, impor LNG dilakukan untuk mendapatkan harga terjangkau (affordable price) bagi pelaku industri Indonesia, yang selama ini membeli gas di dalam negeri dengan harga lebih mahal daripada harga gas di luar negeri.

Harga gas Industri di Indonesia selama ini memang jauh lebih mahal daripada harga gas di Vietnam, Malaysia, dan Singapura. Indonesia yang punya cadangan gas berlimpah, harga gas konsumen industri mencapai sekitar US$ 11,2 hingga US$ 13,5 per Million Metric British Thermal Units (MMBtu). Sedangkan di Vietnam dan Singapura yang tidak mempunyai sumber gas, harga gas hanya sebesar US$ 4 per MMBtu di Singapura dan US$ 7 per MMBtu di Vietnam.

Alasan mendapatkan harga terjangkau dengan impor LNG, tidak hanya anomali, tetapi juga sangat mengada-ada. Permasalahan mahalnya harga gas di dalam negeri sudah dialami oleh konsumen industri sejak setahun lalu, sedangkan impor LNG dari ExxonMobil akan dilaksanakan pada 2025. 

Adanya tenggang waktu selama 8 tahun antara current problem dengan solution semakin mengindikasikan bahwa alasan impor LNG dari ExxonMobil hanya sekedar untuk justifikasi keputusan pemerintah mengimpor LNG.

Kedua, pemerintah mengemukakan bahwa terhitung mulai 2019 diprediksikan Indonesia harus impor gas untuk memenuhi peningkatan permintaan gas dari konsumen industri dan PLN, lantaran terjadi defisit gas. Pada saat itu, produksi gas tidak lagi mencukupi untuk memasok kebutuhan konsumsi gas di dalam negeri, sehingga harus impor gas. Benarkah? 

Menurut data BP Statistical Review of World Energy 2015, Indonesia memiki cadangan gas alam yang sangat besar, Indonesia saat ini memiliki cadangan gas terbesar ketiga di wilayah Asia Pasifik, setelah Australia dan China. Cadangan gas Indonesia berkontribusi sekitar 1.5% dari total cadangan gas dunia. 

Lahan-lahan gas alam tersebar di beberapa wilayah Indonesia, di antaranya Arun Aceh, Bontang dan Mahakam Kalimantan Timur, Tangguh-Papua, Natuna, dan Masela, yang sebagian besar dikelola dan dioperasikan oleh Perusahaan Asing, termasuk Chevron, Total, ExxonMobil, dan Inpex. 

Sejak 10 tahun terakhir pada 2006-2015, produksi gas di Indonesia telap stabil rata-rata mencapai 76.12 MMBtu per tahun. Produksi gas tertinggi mencapai 85,7 MMBtu pada 2010, sedangkan produksi pada 2015 masih mencapai sebesar 75,0 MMBtu. Jumlah produksi ini diperkirakan akan semakin meningkat pada saat Blok Masela dan Blok Natuna mulai produksi pada 2019.

Sedangkan konsumsi gas dalam negeri pada periode sama hanya mencapai rata-rata sebesar 39.36 MMBtu per tahun, hanya separo dari dari total produksi gas di Indonesia, sehingga surplus gas, yang diekspor ke luar negeri. Salah satu sebab rendahnya penyerapan gas di dalam negeri adalah keterbatasan infrastruktur untuk menyalurkan gas dari sumber hulu ke konsumen industri termasuk PLN.

Di samping keterbatasan infrastruktur, ikut bermainya trader non-infrastruktur, lebih berperan sebagai makelar, yang ikut mendongkrak mahalnya harga gas di dalam negeri.

Di saat melimpahnya gas di hulu yang ditunjukkan adanya surplus antara produksi dan konsumsi, keputusan impor gas dari Exxon Mobil sangat tidak tepat, yang cenderung anomalir Assessment yang dibuat bahwa pada 2019 Indonesia akan mengalami defisit gas sebenarnya tidak mendasar.

Data menunjukan bahwa adanya surplus gas, yang ditunjukkan jumlah produksi lebih besar dari konsumsi. Surplus itu selama ini lebih banyak diekspor daripada digunakan untuk memasok kebutuhan di dalam negeri.

DIPAKSA

Tidak berlebihan dikatakan bahwa assessment itu hanya sekedar justifikasi blunder atas keputusan Indonesia untuk impor LNG dari Exxon dalam jumlah besar dengan kontrak jangka panjang. Penetapan kontrak dalam jangka panjang selama 20 tahun akan sangat merugikan bagi Indonesia.

Dengan kontrak jangka panjang itu, Indonesia akan dipaksa untuk tetap impor LNG dari ExxonMobil, baik dalam keadaan defisit maupun surplus gas, dengan harga yang ditetapkan di depan.

Selain itu, ExxonMobil diduga akan menjual gas kepada Indonesia yang berasal dari sumber gas dari lahan di Indonesia, yang dikelola oleh ExxonMobil. Kalau dugaan ini benar, sungguh amat ironis bagi Indonesia untuk impor LNG dari ExxonMobil, yang sumber gasnya dieksploitasi dari negerinya sendiri.

Keputusan ironis bukanlah ulah Mafia Migas untuk memburu rente pada impor LNG, namun lebih disebabkan adanya tekanan masif Wakil Presiden AS yang berkunjung ke Indonesia. Indikasinya, kontrak keputusan impor LNG dari Exxon Mobil diteken pada saat Wapres AS Pence berkunjung di Indonesia. Bahkan, tekanan Pence juga dilakukan untuk memenuhi tuntutan Freeport agar bisa tetap ekspor konsentrat, tanpa diolah dan dimurnikan di Smelter dalam negeri.

Sebelumnya, tekanan masif pemerintah AS juga pernah terjadi pada masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada saat terjadi perebutan pengelolaan Blok Cepu antara Pertamina dengan ExxonMobil, tiba-tiba SBY memutuskan untuk menyerahkan pengelolaan Blok Cepu kepada ExxonMobil sebagai operator iunggal. Keputusan SBY tersebut diteken juga bersamaan dengan kunjungan Menteri Luar Negeri AS ke Indonesia.

Sebagai negara yang berdaulat, Indonesia mestinya tidak boleh tunduk dengan berbagai bentuk tekanan dari Pemerintah AS, baik untuk menyerahkan pengelolaan Blok Cepu, memenuhi tuntutan Freeport, maupun untuk memutuskan impor gas dari ExxonMobil. 

Berbagai keputusan pemerintah Indonesia, yang berdasarkan atas tekanan pemerintah AS, berpotensi tidak hanya melanggar perundangan berlaku tetapi juga akan merugikan kepentingan Negara Republik Indonesia.

Bisnis Indonesia, Page-2, Tuesday, May, 2, 2017