The government will force lnpex Masela Limited, operator of Masela Block, to commence an initial review of the definition and study of the oil and gas project area located in the Arafuru Sea, Maluku. Minister of Energy and Mineral Resources (EMR) lgnasius Jonan asked lnpex to immediately begin the Final Field Design (FEED) of Abadi Field. Masela Block. Pre FFED it's up to lnpex. If it's too long, I cancels the Masela Block management right.
Jonan explained, until now the oil and gas company from Japan has not indicated the intention to start the initial project assessment activities. The review is to determine the production capacity of LNG / gas refinery and gas pipe volume.
In addition to producing LNG through a land refinery the government is requesting lnpex to allocate piped gas Will be used in the gas user industry. Currently there are two options related to the development of oil and gas block which 65% of its shares are owned by lnpex Corporation and 35% by Shell.
First, the capacity of LNG plant 7.5 million tons per year (MTPA) and gas pipeline 474 MMscfd Second, the capacity of the refinery LNG 9,5 MTPA and gas pipeline 150 MMscfd. The government gives flexibility to Inpex to review both options. Meanwhile, lnpex Masela Limited, a subsidiary of lnpex Corporation, wants the first option because there is no certainty that the industry is committed to buying gas from Masela.
The government wants the two schemes to be reviewed with two LNG plant location options. Jonan too Considers too long for investors to weigh so that FEED pre can not start yet.
Since converted from a floating refinery to a land refinery by the end of March 2016, the development of the Masela project Not significant yet. In fact, when Japanese Prime Minister Shinzo Abe visited Indonesia in January 2017 there has been no agreement between the Indonesian government and Inpex.
Inpex acquired 100% of the Masela Block in November 1998 through an open bidding made by the Indonesian government. Then Inpex took Shell with 35% share ownership to develop Abadi Field.
In December 2010, the government approved the development plan (POD-1) of the Masela Block with an LNG plant Floating capacity of 2.5 MTPA. In December 2015, the government agreed to increase the capacity of the LNG plant in Masela from 2.5 MTPA to 7.5 MTPA. However, in April 2016, the government changed Masela's development scheme from a floating refinery to a land refinery. Inpex has worked on several oil and gas blocks in the country, such as the Mahakam Block, South Natuna Sea Block B, Sebuku Block, and Tangguh LNG. Meanwhile, the location of the Masela gas well is adjacent to the Tanimbar Islands, Maluku.
STILL OPTIMISTICAL
On the same occasion, Senior Manager of Communication & Relations lnpex Indonesia Usman Slamet said it was discussing intensively related to the continuation of Masela development project. He is optimistic that the government will accelerate the process and ensure the project runs on an economic scale even though the development scheme has changed from a floating refinery to a land refinery.
Previously, the government has responded to the Inpex request related to the development of the Masela Block. However, Until now the contractor and the government have not agreed on several matters so that the working area signed by the contract in 1998 has not been able to start significantly. In fact, the government is targeting that the final investment decision can be made in 2019 and gas production first began in 2026.
Deputy Head of Special Unit for Upstream Oil and Gas Business Executives (SKK Migas) Zikrullah Said it is difficult to re-discover the structure with huge oil and gas production potential in the country. He mentioned that potential gas production of up to 500 Mmscfd could be found in one working area, but now it is necessary to gather findings in 10 working areas to obtain the same volume.
In addition, despite the smaller production volume, operational costs incurred by operators are still the same. Therefore, he hopes that exploration activities continue to be done to replace the volume that has been produced. In the past, 500 MMscfd was from a block if it now has 10 blocks.
Zikrullah explains there is a trend of time required for a gas-generating structure or Its first oil is getting longer. This is due to several factors, such as the speed of providing investment decisions from each contractor to the licensing arrangement in the operating area.
Long time it will add to operating costs charged to operating costs (cost recovery). Yet if a field can not produce oil and gas, both contractors and the government can not enjoy the benefits, but still have to spend.
Thus, the time savings from start up to the first production can save the operating costs of a working area and accelerate the contractor as well as the government enjoys the benefits of the resulting production. In the end because it goes into the overall cost that will be in cost recovery.
IN INDONESIAN
Inpex Dipaksa Segera Garap Blok Masela
Pemerintah akan memaksa lnpex Masela Limited, operator Blok Masela, untuk memulai kajian tahap awal pendefinisian dan kajian proyek wilayah minyak dan gas bumi yang berlokasi di Laut Arafuru, Maluku itu. Menleri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) lgnasius Jonan meminta lnpex segera memulai kajian pra-pendefinisian proyek (Final engineering design/FEED) Lapangan Abadi. Blok Masela. Pre FFED-nya itu terserah lnpex. Kalau terlalu lama, saya batalkan hak pengelolaan Blok Masela.
Jonan menjelaskan, hingga saat ini perusahaan minyak dan gas bumi asal Jepang itu belum menunjukkan niat untuk memulai kegiatan kajian awal proyek. Kajian tersebut untuk menentukan kapasitas produksi kilang gas alam cair/LNG dan volume gas pipa.
Selain memproduksi LNG melalui kilang darat pemerintah meminta lnpex untuk mengalokasikan gas pipa yang akan di gunakan industri pengguna gas. Saat ini ada dua opsi terkait dengan pengembangan blok migas yang 65% sahamnya dikuasai lnpex Corporation dan 35% oleh Shell.
Pertama, kapasitas kilang LNG 7,5 juta ton per tahun (MTPA) dan gas pipa 474 MMscfd Kedua, kapasitas kilang LNG 9,5 MTPA dan gas pipa 150 MMscfd. Pemerintah memberikan keleluasaan kepada lnpex untuk mengkaji kedua opsi tersebut. Sementara itu, lnpex Masela Limited, anak perusahaan lnpex Corporation, menginginkan opsi pertama karena belum ada kepastian industri yang berkomitmen membeli gas pipa dari Masela.
Pemerintah menginginkan agar dua skema itu direview dengan dua pilihan lokasi kilang LNG. Jonan pun menganggap terlalu lama bagi investor untuk menimbang sehingga pre FEED belum bisa dimulai.
Sejak diubah dari kilang terapung menjadi kilang darat pada akhir Maret 2016, perkembangan proyek Masela belum signifikan. Bahkan, ketika Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe berkunjung ke Indonesia pada Januari 2017 belum ada kesepakatan antara pemerimah Indonesia dengan Inpex.
Inpex menguasi 100% saham Blok Masela pada November 1998 melalui penawaran terbuka yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Kemudian Inpex menggandeng Shell dengan kepemilikan saham 35% untuk mengembangkan Lapangan Abadi.
Pada Desember 2010, pemerintah menyetujui rencana pengembangan (POD-1) Blok Masela dengan kilang LNG terapung berkapasitas 2,5 MTPA. Pada Desember 2015, pemerintah menyetujui peningkatan kapasitas kilang LNG di Masela dari 2,5 MTPA menjadi 7.5 MTPA.
Namun, pada April 2016, pemerintah mengubah skema pengembangan Masela dari kilang terapung menjadi kilang darat. Inpex telah menggarap beberapa blok migas di Tanah Air, seperti Blok Mahakam, South Natuna Sea Block B, Blok Sebuku, dan LNG Tangguh. Sementara itu, lokasi sumur gas Masela berdekatan dengan Kepulauan Tanimbar, Maluku.
MASIH OPTIMISTIS
Dalam kesempatan yang sama, Senior Manager Communication & Relations lnpex Indonesia Usman Slamet mengatakan, pihaknya sedang membicarakan secara intensif terkait kelanjutan proyek pengembangan Masela. Dia optimistis, pemerintah akan mempercepat proses dan memastikan proyek berjalan sesuai skala ekonomi kendati skema pengembangan berubah dari kilang terapung menjadi kilang darat.
Sebelumnya pemerintah telah merespons permintaan Inpex terkait dengan pengembangan Blok Masela. Namun,hingga kini kontraktor dan pemerintah belum menyepakati beberapa hal sehingga wilayah kerja yang diteken kontraknya pada 1998 itu belum bisa dimulai secara signifikan. Padahal, pemerintah menargetkan agar keputusan akhir investasi bisa dilakukan pada 2019 dan produksi gas pertama dimulai pada 2026.
Wakil Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegialan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Zikrullah mengatakan, sulit untuk kembali menemukan struktur dengan potensi produksi migas yang besar di Tanah Air. Dia menyebut, potensi produksi gas hingga 500 Mmscfd sebelumnya dapat ditemukan pada satu wilayah kerja, tetapi saat ini perlu mengumpulkan temuan di 10 wilayah kerja untuk memperoleh volume yang sama.
Selain itu, kendati volume produksi lebih kecil, biaya operasi yang dikeluarkan operator masih sama. Oleh karena itu, dia berharap agar kegiatan eksplorasi terus dilakukan untuk menggantikan volume yang sudah diproduksi. Kalau dulu, 500 MMscfd itu dari satu blok kalau sekarang harus 10 blok.
Zikrullah menjelaskan ada kecenderungan waktu yang dibutuhkan bagi sebuah struktur menghasilkan gas atau minyak pertamanya semakin panjang. Hal itu disebabkan beberapa faktor, seperti kecepatan pemberian keputusan investasi dari masing-masing kontraktor hingga pengurusan perizinan di daerah operasi.
Waktu yang lama itu akan menambah biaya operasi yang dibebankan pada biaya operasi (cost recovery). Padahal bila suatu lapangan belum bisa menghasilkan minyak dan gas, baik itu kontraktor maupun pemerintah belum bisa menikmati keuntungan, tetapi masih harus mengeluarkan biaya.
Dengan demikian, penghematan waktu dari mulai temuan hingga produksi pertama bisa menghemat biaya operasi sebuah wilayah kerja dan mempercepat kontraktor juga pemerintah menikmati keuntungan dari produksi yang dihasilkan. Pada akhirnya karena masuk ke dalam cost secara keseluruhan yang akan di cost recovery.
Bisnis Indonesia, Page-30, Thursday, May, 4, 2017