Contracts of oil and gas blocks that will expire during the period 2015-2018 as many as 35 work areas. In 2017-2018, there are 11 oil and gas blocks whose contracts will expire In early 2017, the Offshore Offshore North West Java (ONWJ) working contract has expired and is immediately signed a new contract with a gross split share scheme.
The Mahakam Block contributed 20 percent to national gas production with 1.504 million cubic feet per day (MMscfd) and condensate 55,100 barrels of condensate per day. After Mahakam, there are nine oil and gas blocks that will end in 2018 such as Tuban Block, Ogan Komering, Sanga-Sanga and South East Sumatera.
In 2021, the largest oil and gas block in Indonesia, the Rokan Block, will be finished. The Rokan Block operated by Chevron is capable of producing 226,500 barrels per day (bpd) or 28% of the national oil production. In 2023, the Corridor Block with gas production of 980 MMscfd or 13% of national gas production will also end.
Upstream Oil and Gas Analyst WoodMackenzie Johan Utama said that in addition to the investment climate oil prices and the development cycle of the field will be a determinant of whether the investment is still running so that oil and gas production activities are not disturbed. However, it is necessary to pay attention to the time of the contract renewal decision so that the current operator is more comfortable in establishing the investment plan.
As an illustration, for the three ending blocks such as the Mahakam Block operated by Total E & P Indonesie, Rokan Chevron Pacific Indonesia Block and Corridor ConocoPhillips Grissik Limited issued capital expenditures and operations in 2016 of US $ 3 billion.
From the material proposed by the Indonesian Petroleum Association (IPA) related to the Oil and Natural Gas Bill, there are several factors supporting the development of upstream oil and gas sector. To create an investment climate the government needs to provide more attractive fiscal provisions.
Fiscal provisions when it is considered to accelerate the decline in production because the portion of the country that is less flexible. Flexibility is also expected to be reflected in the terms of the cooperation contract. The reason, at this time, the government refers to the Government Regulation No. 35/2004 on Upstream Oil and Gas Business Activities with a 30-year contract life and a maximum extension twice for 10 years for one extension.
"Operators need a lot of time to plan activities and budgets, decisions that are too close to the end of the contract tend to result in a minimum budget and activity plan," he said.
Old squares or wells become the current operator's challenge to the government. The reason, the older age, the decline in production the faster. Thus excessive effort is required to maintain production. In particular, the government still uses oil and gas production as a macro assumption in the state budget.
LIFTING ASSUMPTIONS
Based on data on the preparation of Macroeconomic Framework and Fiscal Policy Principles 2018 and Medium Term Budget Framework 2018-2022, Minister of ESDM Ignasius Jonan conveyed his input to Finance Minister Sri Mulyati. In the proposal dated 14 February 2017, the assumption of oil and gas lifting made two versions of moderate and optimistic.
For moderate assumptions, by 2018 oil lifting target of 771,000 bpd and gas 1.19 million barrels of oil equivalent per day (boepd). Oil assumption in 2019 fell to 722,000 bpd and gas rose to 1.21 million boepd.
By 2020, the moderate oil lifting assumption touches 695,000 bpd and gas 1.19 million boepd. Oil lifting assumptions continue to fall in 2021 and 2022 with 651,000 bpd and 589,000 bpd respectively. For cost recovery, the initial assumption, in 2019 touched US $ 12.49 billion, by 2020 of US $ 12.09 billion, at 2021 US $ 12/14 billion, and to US $ 12.18 billion in 2022.
The assumption is lower target through optimization efforts. Cost recovery in 2019 is US $ 10.82 billion, in 2020 of US $ 10.28 billion, in 2021 of US $ 9.76 billion and US $ 9.28 billion in 2022. The Government wants oil and gas production to be maintained even up. However, from-the-side operating cost recovery is expected to continue to fall.
"Of course, these techniques require more cost, and generally the ratio of production increase to the value of investment will tend to be high when compared with the field which generally still younger," he said.
Deputy Head of SKK Migas Sukandar said that currently there are 86 production working areas with one of them working area using gross split contract so that its impact on cost recovery reduction has not been seen next year.
Based on data in August 2017, the realized cost recovery was US $ 7.22 billion from the target of US $ 10.4 billion so far this year. However, it is estimated that the realization will exceed the target of US $ 10.7 billion. Previously mentioned the potential for additional cost recovery at the end of the year as capital expenditures usually increase towards the end of the year.
He said the reduction of cost recovery is difficult to realize because of the recorded data no matter how the ceiling is set realization is always missed because of the number of fields or old wells that cost more to produce oil or gas. Moreover, current drilling activities in the field easier to produce water than to produce oil so it costs more to achieve the production target.
"The more the production is even water instead of oil. The more days the oil gets smaller, "he said.
The government as the owner of the field, has a larger share in the revenue share and has the authority to set the direction of upstream oil and gas business. Of course the government wants upstream oil and gas activities both from old fields and new fields in order to provide maximum benefits.
The benefits of the government itself is decisive. It can be a huge state revenue or double effect that has always been voiced that oil and gas is not a commodity, but a lighter of economic growth.
IN INDONESIA
Menjaga Produksi Lapangan Tua Terus Mengalir
Kontrak blok minyak dan gas bumi yang akan berakhir selama periode 2015-2018 sebanyak 35 wilayah kerja. Pada 2017-2018, ada 11 blok migas yang kontraknya akan berakhir Pada awal 2017, kontrak kerja sama Blok Offshore North West Java (ONWJ) telah berakhir dan langsung diteken kontrak baru dengan skema bagi hasil kotor atau gross split.
Kemudian, disambung Blok Mahakam yang berkontribusi 20% terhadap produksi gas nasional dengan capaian produksi sebesar 1.504 juta kaki kubik per hari (MMscfd) dan kondensat 55.100 barel kondensat per hari. Setelah Mahakam, terdapat sembilan blok migas yang akan berakhir pada 2018 seperti Blok Tuban, Ogan Komering, Sanga-Sanga, dan South East Sumatera.
Pada 2021, blok migas terbesar di Indonesia, Blok Rokan, akan berkhir. Blok Rokan yang dioperasikan oleh Chevron mampu memproduksi minyak 226.500 barel per hari (bph) atau 28% dari produksi minyak nasional. Pada 2023, Blok Corridor dengan produksi gas 980 MMscfd atau 13% produksi gas nasional juga akan berakhir.
Analis Hulu Minyak dan Gas Bumi WoodMackenzie Johan Utama mengatakan bahwa selain iklim investasi harga minyak dan siklus pengembangan lapangan akan menjadi penentu apakah investasi tetap berjalan sehingga kegiatan produksi migas tidak terganggu. Namun, perlu memperhatikan waktu keputusan perpanjangan kontrak agar operator saat ini lebih nyaman menetapkan rencana investasi.
Sebagai gambaran, untuk tiga blok yang akan berakhir seperti Blok Mahakam yang dioperatori Total E&P Indonesie, Blok Rokan Chevron Pacific Indonesia, dan Blok Corridor ConocoPhillips Grissik Limited mengeluarkan belanja modal dan operasi pada 2016 sebesar US$ 3 miliar.
Dari materi usulan Indonesian Petroleum Association (IPA) terkait dengan RUU Minyak dan Gas Bumi, terdapat beberapa faktor pendukung pengembangan sektor hulu migas. Untuk menciptakan iklim investasi pemerintah perlu memberikan ketentuan fiskal yang lebih menarik.
Ketentuan fiskal saat justru dianggap mempercepat penurunan produksi karena porsi negara yang kurang fleksibel. Fleksibilitas juga diharapkan bisa tercermin pada masa kontrak kerja sama. Pasalnya, saat ini, pemerintah mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 35/2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas dengan umur kontrak 30 tahun dan perpanjangan maksimum dua kali sepanjang 10 tahun untuk sekali perpanjangan.
“Operator perlu banyak waktu untuk merencanakan kegiatan dan anggaran, keputusan yang terlalu dekat akhir kontrak cenderung menghasilkan anggaran dan rencana kegiatan yang minimum,” katanya.
Lapangan-lapangan atau sumur-sumur tua menjadi tantangan operator yang ada saat ini juga pemerintah. Pasalnya, semakin tua umurnya, penurunan produksi semakin cepat. Dengan demikian diperlukan upaya berlebih untuk bisa mempertahankan produksi. Terutama, pemerintah yang masih menggunakan produksi minyak dan gas sebagai asumsi makro dalam APBN.
ASUMSI LIFTING
Berdasarkan data penyusunan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal 2018 serta Kerangka Anggaran Jangka Menengah 2018-2022, Menteri ESDM Ignasius Jonan menyampaikan masukan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyati.
Dalam usulan tertanggal 14 Februari 2017, asumsi lifting migas dibuat dua versi yakni moderat dan optimistis. Untuk asumsi moderat, pada 2018 target lifting minyak sebesar 771.000 bph dan gas 1,19 juta barel setara minyak per hari (boepd). Asumsi minyak pada 2019 turun menjadi 722.000 bph dan gas justru naik menjadi 1,21 juta boepd.
Pada 2020, asumsi moderat lifting minyak menyentuh 695.000 bph dan gas 1,19 juta boepd. Asumsi lifting minyak terus turun pada 2021 dan 2022 dengan angka 651.000 bph dan 589.000 bph scara berturut-lurut. Untuk cost recovery, asumsi awalnya, pada 2019 menyentuh US$ 12,49 miliar, pada 2020 sebesar US$12,09 miliar, pada 2021 US$ 12/14 miliar, dan menjadi US$ 12,18 miliar pada 2022.
Asumsi tersebut lebih rendah targetnya melalui upaya optimalisasi. Cost recovery pada 2019 US$ 10,82 miliar, pada 2020 sebesar US$ 10,28 miliar, pada 2021 sebesar US$ 9,76 miliar dan US$ 9,28 miliar pada 2022. Pemerintah menginginkan agar produksi minyak dan gas bisa tetap terjaga bahkan naik. Namun, dari-sisi pengembalian biaya operasi diharapkan bisa terus turun.
“Tentunya teknik-teknik tersebut memerlukan biaya lagi, dan umumnya rasio penambahan produksi terhadap nilai investasi akan cenderung tinggi apabila dibandingkan dengan lapangan-lapangan yang umumya masih lebih muda," katanya.
Wakil Kepala SKK Migas Sukandar mengatakan bahwa saat ini terdapat 86 wilayah kerja produksi dengan satu di antaranya wilayah kerja yang menggunakan kontrak gross split sehingga dampaknya terhadap pengurangan cost recovery belum terlihat di tahun depan.
Berdasarkan data pada Agustus 2017, cost recovery yang terealisasi US$ 7,22 miliar dari target US$ 10,4 miliar sepanjang tahun ini. Namun, diperkirakan realisasinya akan melampaui target yakni menjadi US$ 10,7 miliar. Sebelumnya disebutkan potensi penambahan cost recovery di akhir tahun karena biasanya belanja modal bertambah menjelang akhir tahun.
Dia menyebut, pengurangan cost recovery sulit direalisasikan karena dari data tercatat berapa pun pagu yang ditetapkan realisasinya selalu meleset karena banyaknya lapangan atau sumur tua yang membutuhkan biaya lebih besar agar bisa menghasilkan minyak atau gas. Terlebih, saat ini kegiatan pengeboran di lapangan lebih mudah menghasilkan air daripada menghasilkan minyak sehingga membutuhkan biaya lebih agar target produksi bisa tercapai.
“Semakin hari produksi ini malah air bukan minyak. Semakin hari minyak semakin dikit,” katanya.
Pemerintah sebagai pemilik ladang, memiliki porsi lebih besar dalam bagi hasil dan memiliki kewenangan untuk menetapkan arah pengusahaan hulu migas. Tentunya pemerintah menginginkan kegiatan hulu migas baik dari lapangan tua maupun lapangan baru agar bisa memberikan manfaat sebesar-besarnya.
Manfaatnya pun pemerintah sendiri yang menentukan. Bisa berupa penerimaan negara yang besar atau efek berganda yang selama ini selalu disuarakan bahwa migas bukan komoditas, tetapi pemantik penumbuhan ekonomi.
Bisnis Indonesia, Page-28, Tuesday, Sept 26, 2017