It has been almost a year since the Government decided to commission PT Pertamina to work on eight oil and gas blocks that expire next year. But the new eight-block contract has not yet been signed, even the Government intends to review the assignment given to Pertamina. Including the eight blocks.
According to Data from the Ministry of Energy and Mineral Resources (ESDM), 31 oil and gas blocks will expire in the period 2018-2025. Not only low-production blocks are included in this list. Block Rokan with oil production reaches about 225,000 barrels per day (bpd) is included in the list of blocks to be completed by 2021.
Energy Observer Pri Agung Rakhmanto reminded the government to immediately decide on the continuation of the operation of the blocs. The fate of oil and gas blocks will be the determinant of Indonesia's oil and gas production in the future.
"Must be careful to treat blocks that want to run out of contract," he said.
How come? According to Pri Agung, around 30% of national oil and gas production, or about 635 thousand barrels of oil equivalent per day, is the result of 20 oil and gas blocks completed in the next five years. If drawn further, even up to 61% of national oil production or equivalent to 1.2 million barrels of oil equivalent per day, comes from oil and gas blocks that are out of contract within the next 10 years.
The government can not only rely on Pertamina to work on oil and gas blocks ahead of this contract. As a business entity, Pertamina must also count in selecting blocks to be taken over its management.
"The only rational thing about the extension of PSC (production sharing contract / contract)," he said.
Of the eight oil and gas blocks completed by next year's contract, Pertamina has declared its readiness to work on six blocks, namely Tuban Block, Ogan Komering, South East Sumatera, Sanga-Sanga, North Sumatra Offshore and Central. While the other two blocks, East Kalimantan Block and Attaka, the company will not continue its evaluation.
Unfortunately, the Government again hesitated about the assignment. Director General of Oil and Gas ESDM Ministry Ego Syahrial reasoned that the government should evaluate the proposed development plan by Pertamina, compared to the proposals owned by the existing contractors. The stability of oil and gas production is the reason for the government.
This evaluation was conducted for four blocks, Tuban Block, Ogan Komering, South East Sumatra, and Sanga-Sanga. In fact, one of the four blocks will end in February 2018.
"The position of government is, in the case of production should not go down. Second, the cost per barrel, do not increase, "said Ego.
Regarding the fate of oil and gas blocks that have been completed by 2019-2025, the government has not yet made a decision. For the fate of the Rokan Block which is the largest oil producer only, Ego revealed there is still plenty of time to decide on its management,
"No, the year 2021 is over, 3-4 years away. Later, "he said.
On the other hand, Pertamina has started targeting blocks whose contracts will be exhausted. Upstream Director of Pertamina Syamsu Alam revealed that the company has evaluated the blocks. Although, this evaluation is largely still
in the early stages because it requires more complete data. Related to the decision from the government, said it will depend on the size of the oil and gas block
"Of course the sooner the decision gets better, but it all requires a process," he said.
Needs Improvement
Not only about who holds the management of this termination block, Pri Agung also highlights the side of his economy. In Minister of Energy and Mineral Resources Regulation no. 52 Year 2017 which is a revision of Ministerial Regulation 8/2017 on oil and gas contract scheme gross split, new oil and gas contractors have the option to continue to use oil and gas contract cost recovery or change to gross split when the contract is extended.
If the government decides to terminate the contract and replace it with a new contract, should the contractor not change, then the oil and gas contract should use a gross split scheme.
"If for the block that has been in production, can use the gross split contract," said Pri Agung.
However, he suggested that the gross split oil and gas contract is made simpler. The reason, Indonesia must compete with other countries to attract investment. Oil prices can no longer be used as the reason for the low national oil and gas investment, considering that other countries' oil and gas investments are improving.
Since oil prices rebounded at the start of the year, it said global oil and gas investment had risen by 3-5%. Investment will come to a place that is comfortable to do business. Admittedly, the gross split scheme has been much better when the Government revised the Ministerial Regulation No. 8/2017 to Ministerial Regulation No. 52/2017. However, the existence of split base, split variable, and split progressive make business count difficult.
"Investors find it difficult to calculate the economy because too much" if ", this adds uncertainty, preferably simplified gross split, locked up for what government share results," he advised.
The government he called need to clean up. In terms of revenue, the contribution of the oil and gas sector said it is already lower than the tax sector. Nevertheless, investment in the oil and gas sector is still quite significant when compared to total investment in Indonesia. In 2016, upstream oil and gas investment reached Rp 151.2 trillion, or about 25% of total domestic and foreign investment of Rp 607.25 trillion.
In 2014, oil and gas investment even reached half of the total national investment, which is Rp 275.4 trillion compared to Rp 541.28 trillion. Unfortunately, national oil and gas investment continues to fall every year. In 2013, national oil and gas investment touched US $ 22.37 billion, with upstream sector dominating US $ 20.38 billion and downstream of US $ 1.9 billion. Realization of this investment continued to trim to US $ 21.72 billion in 2014, US $ 17.98 billion in 2015 and US $ 12.73 billion in 2016.
Then until the beginning of October this year, the realization of new oil and gas investment reached US $ 6.4 billion or 41.88% of the target of 2017 which amounted to US $ 15.28 billion.
IN INDONESIA
Hati-Hati Menyambung Nasib Blok Terminasi
Sudah hampir satu tahun sejak Pemerintah memutuskan untuk menugaskan PT Pertamina menggarap delapan blok minyak dan gas bumi yang berakhir kontraknya pada tahun depan. Namun kontrak baru delapan blok ini belum juga ditandatangani, bahkan Pemerintah berniat mengkaji ulang penugasan yang diberikan ke Pertamina. Termasuk delapan blok tersebut.
Menurut Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sebanyak 31 blok migas akan berakhir kontraknya dalam periode 2018-2025. Tidak hanya blok dengan produksi rendah yang masuk daftar ini. Blok Rokan dengan produksi minyak mencapai sekitar 225 ribu barel per hari (bph) masuk dalam daftar blok yang akan selesai kontraknya pada 2021.
Pengamat Energi Pri Agung Rakhmanto mengingatkan pemerintah untuk segera mengambil keputusan akan kelanjutan operasi blok-blok tersebut. Nasib blok migas ini akan menjadi penentu produksi migas Indonesia di masa mendatang.
“Harus hati-hati memperlakukan blok yang mau habis kontraknya,” katanya.
Bagaimana tidak? Menurut Pri Agung, sekitar 30% produksi migas nasional atau sekitar 635 ribu barel setara minyak per hari merupakan hasil dari 20 blok migas yang selesai kontraknya pada lima tahun mendatang. Jika ditarik lebih jauh, bahkan sampai 61% produksi migas nasional atau setara 1,2 juta barel setara minyak per hari, datang dari blok migas yang habis kontraknya dalam 10 tahun ke depan.
Pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan Pertamina untuk menggarap blok-blok migas menjelang kontrak selesai ini. Sebagai entitas bisnis, Pertamina juga harus berhitung dalam memilih blok yang akan diambil alih pengelolaannya.
“Yang rasional saja soal perpanjangan PSC (production sharing contract/kontrak kerja sama),” ujarnya.
Dari delapan blok migas yang selesai kontrak tahun depan, Pertamina sudah menyatakan kesiapannya menggarap enam blok, yakni Blok Tuban, Ogan Komering, South East Sumatera, Sanga-Sanga, North Sumatera Offshore, dan Tengah. Sementara dua blok lainnya, yakni Blok East Kalimantan dan Attaka, perseroan tidak akan melanjutkan evaluasinya.
Sayangnya, Pemerintah kembali ragu soal penugasan tersebut. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Ego Syahrial beralasan pemerintah harus mengevaluasi rencana pengembangan yang diajukan Pertamina, dibandingkan dengan proposal milik kontraktor eksisting. Kestabilan produksi migas menjadi alasan pemerintah.
Evaluasi ini dilakukan untuk empat blok, Blok Tuban, Ogan Komering, South East Sumatera, dan Sanga-Sanga. Padahal, salah satu- dari empat blok tersebut, akan berakhir pada Februari 2018.
“Posisi pemerintah adalah, dalam hal produksi tidak boleh turun. Kedua, biaya per barelnya, jangan tambah meningkat," tegas Ego.
Terkait nasib blok migas yang selesai kontraknya pada 2019-2025, pemerintah belum membuat keputusan. Untuk nasib Blok Rokan yang merupakan produsen minyak terbesar saja, Ego mengungkapkan masih banyak waktu untuk memutuskan pengelolaannya,
“Belum, tahun 2021 selesai, 3-4 tahun lagi. Nanti,” kata dia.
Di sisi lain, Pertamina sudah mulai mengincar blok-blok yang kontraknya akan habis ini. Direktur Hulu Pertamina Syamsu Alam mengungkapkan pihaknya sudah melakukan evaluasi terhadap blok-blok tersebut. Walaupun, evaluasi ini sebagian besar masih pada tahap awal lantaran membutuhkan data yang lebih lengkap. Terkait keputusan dari pemerintah, disebutnya memang akan tergantung dari besar kecilnya blok migas tersebut
“Tentu semakin cepat ada keputusan semakin baik, namun semuanya memerlukan proses,” ujarnya.
Perlu Perbaikan
Tidak hanya soal siapa yang memegang pengelolaan blok terminasi ini, Pri Agung juga menyoroti sisi keekonomiannya. Dalam Peraturan Menteri ESDM No. 52 Tahun 2017 yang merupakan revisi Peraturan Menteri 8/2017 soal kontrak migas skema gross split, kontraktor migas baru mendapat pilihan untuk tetap menggunakan kontrak migas cost recovery atau berganti ke gross split ketika kontraknya diperpanjang.
Jika pemerintah memutuskan untuk mengakhiri kontrak dan menggantinya dengan kontrak baru, seharusnya kontraktor tidak berubah, maka kontrak migas harus menggunakan skema gross split.
“Kalau untuk blok yang sudah berproduksi, bisa mengunakan gross split kontraknya,” kata Pri Agung.
Namun, dia menyarankan agar kontrak migas gross split ini dibuat lebih sederhana. Pasalnya, Indonesia harus bersaing dengan negara lain untuk menggaet investasi. Harga minyak tidak lagi bisa dijadikan alasan rendahnya investasi migas nasional, mengingat investasi migas negara lain mulai membaik.
Sejak harga minyak rebound pada awal tahun, dikatakannya investasi migas global sudah naik 3-5%. Investasi akan datang ke tempat yang memang nyaman untuk berbisnis. Diakuinya, skema gross split sudah jauh lebih baik ketika Pemerintah merevisi Peraturan Menteri Nomor 8/2017 menjadi Peraturan Menteri Nomor 52/2017. Namun, adanya base split, variable split, dan progressif split membuat hitungan bisnis menjadi sulit.
“Investor sulit menghitung keekonomian karena terlalu banyak “if", ini menambah uncertainty. Lebih baik gross split disederhanakan, dikunci split bagi hasil pemerintah berapa,” sarannya.
Pemerintah disebutnya perlu berbenah. Dari sisi penerimaan, kontribusi sektor migas dikatakannya memang sudah lebih rendah dari sektor pajak. Meski demikian, investasi sektor migas masih cukup signifikan jika dibandingkan investasi total di Indonesia. Pada
2016, investasi di hulu migas tercatat sebesar Rp 151,2 triliun atau mencapai sekitar 25% dari total investasi dalam negeri dan asing Rp 607,25 triliun.
Pada 2014, investasi migas bahkan mencapai setengah dari total investasi nasional, yakni Rp 275,4 triliun dibandingkan dengan Rp 541,28 triliun. Sayangnya, investasi migas nasional justru terus turun tiap tahunnya. Pada 2013, investasi migas nasional menyentuh US$ 22,37 miliar di mana sektor hulu mendominasi dengan realisasi US$ 20,38 miliar dan hilir US$ 1,9 miliar. Realisasi investasi ini
terus temangkas menjadi US$ 21,72 miliar pada 2014, US$ 17,98 miliar pada 2015, dan US$ 12,73 miliar pada 2016.
Kemudian sampai awal Oktober tahun ini, realisasi investasi migas baru mencapai US$ 6,4 miliar atau 41,88% dari target 2017 yang sebesar US$ 15,28 miliar.
Investor Daily,Page-9, Tuesday, Dec 5, 2017