google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 All Posts - MEDIA MONITORING OIL AND GAS -->

MARKET

Thursday, January 16, 2020

When running helter-skelter Pursue 1 Million Bph



The government's dream to restore the glory of upstream oil and gas by targeting oil production of 1 million barrels per day by 2030 needs to be supported by concrete steps through policy or fiscal stimulus.

The hope of increasing oil production is certainly not an easy job. Moreover, the national upstream oil and gas sector is faced with a decline in natural oil production. In the BP Statistical Review 2019, national oil production decreased by 3.5% in 2018 or above the average decline over the past 10 years by 1.5%.

This year's production realization is even expected to decrease by more than 20,000 BPD compared to 2018. Oil production as of October 2019 was recorded at 750,500 BPD, while at the end of 2018 it was recorded at 778,000 BPD. From these data, the hope of oil production returning to reach 1 million BPD needs concrete steps.

For example, there is an equivalent finding of the Banyu Urip Field. Heading there, the Special Task Force for Upstream Oil and Gas Business Activities (SKK Migas) campaigned for four pillars of the long-term strategy to achieve the production target of 1 million BPD.

The four pillars are maintaining current production, transforming resources into production, implementing advanced oil recovery (EOR), to massive exploration activities.

Feeling that they did not want to lose before the war, SKK Migas was optimistic that the target would be achieved. Moreover, the opportunity for the national oil and gas industry is still large. This can be seen from a total of 128 sedimentary basins in Indonesia, only 54 of which have been explored and whose production is still 19 basins.

Thus there are still 74 basins waiting to be explored and 35 basins that have been explored are expected to find oil and gas reserves through continuous exploration and investment in the basin.



SKK Migas Planning Deputy Jafee Suadin revealed that by looking at the current conditions, the four efforts need to be carried out in parallel. According to him, it is difficult to rely solely on advanced drainage technology (EOR) or wait for the discovery of a new giant oil block.

"Our anchor effort is 1 million BPD. The target is a combination of EOR technology, the discovery of new reserves, and transformation of reserves into
production, "he said.

Regarding the implementation of the EOR, the government considers this to be a solution so that oil production is again attractive. Because, based on the results of a coordination meeting chaired by the Coordinating Minister for Maritime and Investment Luhut Binsar Pandjaitan, EOR is expected to provide an additional 1.6 billion barrels of oil production.

Luhut Binsar Pandjaitan

Maritime and Investment Coordinating Minister Luhut Binsar Pandjaitan said, his party had discussed efforts to increase oil production through EOR activities with oil and gas companies operating in Indonesia. He requested that the oil and gas company identify the potential EOR in oil and gas blocks in Indonesia.

"We have data that there are 1.6 billion barrels that can be produced from EOR activities," he said.

ECONOMY

However, is the production of 1.6 billion barrels using EOR already very economical? This is what seems to influence businesses to count and think again to run the EOR. Executive Director of the Reforminer Institute Komaidi Notonegoro said if the government only prioritizes production without thinking about business factors, then it is difficult for business actors to carry out further stages of drainage. According to him, the implementation of EOR is useless but it is carried out with lifting costs more expensive compared to oil imports.

"If the barrel production is more expensive than imports, will it also be a business decision? If it is seen as a driver of energy independence okay, "he said.

At present, the potential of EOR in Indonesia is spread over 129 oil fields consisting of 15 work areas. Until the middle of the year, the EOR's definite work commitment was the only US $ 446 million. 

     Acting Director-General of Oil and Gas at the Ministry of Energy and Mineral Resources (ESDM) Djoko Siswanto added that the acceleration of EOR can be done by applying this technology to several wells, not one field at a time. According to him, this step is in accordance with the proposal from the Bandung Institute of Technology (ITB).

the Bandung Institute of Technology (ITB).

"So it is injected first, closed for a while, and then the oil will come out, per well. The Minister wants which wells are, what fields the program is, and what obstacles, it will be reported on January 25, 2020, "he said.

Some studies have indeed been carried out by oil and gas contractors that have carried out EOR activities. Unfortunately, this EOR activity has not yet been massive. The government hopes that these activities will produce results, such as those carried out in the Rokan Block, the Offshore North West Java Block (ONWJ), the Rimau Block, and several fields managed by PT Pertamina EP.

Some studies have indeed been carried out by oil and gas contractors that have carried out EOR activities. Unfortunately, this EOR activity has not yet been massive. The government hopes that these activities will produce results, such as those carried out in the Rokan Block, the North West Java (ONWJ) Block, the Rimau Block, and several fields managed by PT Pertamina EP.

"The great potential of EOR is in Rokan Block with Pertamina EP, then in Zulu [ONWJ Block] PHE [Pertamina Hulu Energi], the same in Medco, namely Rimau Block, Kaji-Harapan Field," he added.

IN INDONESIA

Kala berlari pontang-panting Kejar 1 Juta Bph


Mimpi pemerintah untuk mengembalikan kejayaan hulu minyak dan gas bumi dengan menargetkan produksi minyak sebesar 1 juta barel per hari pada 2030 perlu didukung dengan langkah konkret lewat kebijakan ataupun stimulus fiskal. 

Harapan penaikan produksi minyak tentu bukan pekerjaan mudah. Apalagi sektor hulu migas nasional dihadapkan dengan penurunan produksi minyak alamiah. Dalam BP Statistical Review 2019, produksi minyak nasional menurun sebanyak 3,5% pada 2018 atau di atas rata-rata penurunan selama 10 tahun terakhir sebesar 1,5%.

Realisasi produksi tahun ini bahkan diperkirakan mengecil lebih dari 20.000 bph dibandingkan dengan 2018. Produksi minyak per Oktober 2019 tercatat sebesar 750.500 bph, sedangkan pada akhir 2018 tercatat sebesar 778.000 bph. Dari data tersebut, harapan produksi minyak kembali mencapai 1 juta bph perlu langkah konkret. 

Misalnya saja, ada penemuan setara Lapangan Banyu Urip. Menuju ke sana, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengampanyekan empat pilar strategi jangka panjang untuk mencapai target produksi 1 juta bph tersebut.

Empat pilar tersebut yakni menjaga produksi yang ada sekarang, transformasi resource menjadi produksi, implementasi pengurasan minyak tahap lanjut (enhanced oil recovery/EOR), hingga aktivitas eksplorasi yang masif. 

Merasa tidak ingin kalah sebelum berperang, SKK Migas optimistis target tersebut tercapai. Terlebih, peluang industri migas nasional masih besar. Hal itu terlihat dari total sebanyak 128 cekungan sedimen yang ada di Indonesia, hanya 54 cekungan yang telah dieksplorasi dan yang berproduksi masih 19 cekungan.

Dengan demikian masih ada 74 cekungan yang menunggu untuk dieksplorasi serta 35 cekungan yang telah dieksplorasi diharapkan dapat ditemukan cadangan migas melalui eksplorasi dan investasi yang terus menerus di cekungan tersebut. 

Deputi Perencanaan SKK Migas Jafee Suadin mengungkapkan dengan melihat kondisi terkini, empat upaya tersebut perlu dijalankan secara pararel. Menurutnya, sulit hanya mengandalkan teknologi pengurasan tahap lanjut (EOR), atau menanti adanya temuan blok minyak raksasa baru.

“Anchor effort kami 1 juta bph. Target tersebut merupakan perpaduan antara teknologi EOR, penemuan cadangan baru, dan transformasi cadangan menjadi
produksi,” katanya.

Terkait dengan penerapan EOR, pemerintah menganggap hal ini menjadi solusi agar produksi minyak kembali menarik. Pasalnya, berdasarkan hasil rapat koordinasi yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, EOR diharapkan bisa memberikan tambahan produksi minyak 1,6 miliar barel. 

Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menuturkan, pihaknya sudah membahas upaya menaikkan produksi minyak melalui kegiatan EOR ini bersama perusahaan-perusahaan migas yang beroperasi di Indonesia. Pihaknya meminta agar perusahaan migas mengidentifikasi potensi-potensi EOR yang ada di blok-blok migas di Indonesia.

“Kami punya data ada 1,6 miliar barel yang bisa diproduksikan dari kegiatan EOR,” katanya.

KEEKONOMIAN

Hanya saja, apakah produksi 1,6 miliar barel menggunakan EOR sudah sangat ekonomis? Hal inilah yang rasanya memengaruhi pelaku usaha berhitung dan dan berfikir ulang untuk menjalankan EOR. Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan jika pemerintah hanya mengutamakan produksi tanpa memikirkan faktor bisnis, maka pelaku usaha sulit melakukan pengurasan tahap lanjut. Menurutnya, percuma saja implementasi EOR tetapi dijalankan dengan biaya lifting lebih mahal dibandingkan dengan impor minyak.

“Kalau produksi per barelnya lebih mahal dari impor, apakah juga akan menjadi keputusan bisnis? Kalau dilihat sebagai pendorong kemandirian energi oke-lah,” katanya. 

Saat ini, potensi EOR di Indonesia tersebar di 129 lapangan minyak yang terdiri dari 15 Wilayah kerja. Hingga pertengahan tahun  komitmen kerja pasti EOR hanya sebesar US$446 juta. Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Djoko Siswanto menambahkan percepatan EOR ini bisa dilakukan dengan menerapkan teknologi ini untuk beberapa sumur, tidak satu lapangan sekaligus. Menurutnya, langkah ini sesuai usulan dari Institut Teknologi Bandung (ITB).

“Jadi diinjeksi dulu, ditutup sebentar, terus nanti keluar minyaknya, per sumur pelaksanaannya. Pak Menteri inginnya sumur mana saja, lapangan mana saja program-nya apa, dan kendalanya apa, itu nanti dilaporkan pada 25 Januari 2020,” ujarnya.

Beberapa studi memang sudah dilakukan kontraktor migas yang telah melaksanakan kegiatan EOR. Sayangnya, kegiatan EOR ini belum masif. Pemerintah berharap aktivitas ini membuahkan hasil, seperti yang dilakukan di Blok Rokan, Blok Offshore North West Java (ONWJ), Blok Rimau, dan beberapa lapangan yang dikelola oleh PT Pertamina EP.

“Yang besar potensi EOR kan ada di Blok Rokan dengan Pertamina EP, kemudian di Zulu [Blok ONWJ] PHE [Pertamina Hulu Energi], sama di Medco yaitu Blok Rimau, Lapangan Kaji-Semoga,” tambahnya.

Bisnis Indonesia, Page-24, Monday, 9 Dec 2019

Domestic Gas Optimization Requires Infrastructure



The diversion of gas which has so far been exported to Singapore requires infrastructure development to be optimally used domestically. Commission VII of the House of Representatives (DPR) of the Republic of Indonesia asked the government to conduct a study so that the gas supply would be diverted domestically.

Dwi Soetjipto

Head of the Special Task Force for Upstream Oil and Gas Business Activities (SKK Migas) Dwi Soetjipto said, even now South Sumatra is an area with excess gas supply. If the gas exported to Singapore is diverted domestically, the gas supply in the region will be even greater.

"So the solution is for the domestic industry to be built in South Sumatra or the gas will be channeled to other places, for example in West Java," he said.

For gas exports, referring to SKK Migas data, it was recorded at 714.26 million cubic feet per day / MMSCFD) until the end of September. This realization was lower than the contract of 814.43 mmscfd. Gas exports through this pipeline are to Singapore and Malaysia.

For information, gas exports to Singapore so far have been through a pipeline managed by PT Transportasi Gas Indonesia (TGI) which runs from the Corridor Block to Duri Field, North Sumatra, and Singapore. 

the Corridor Block

    In Sumatra, besides the TGI pipeline, there is also the Duri-Dumai Gas pipeline. Currently, the Duri-Dumai pipeline supplies gas from the Corridor, Bentu, and Jambi Merang Blocks. Dwi suggested that there is infrastructure development so that the export residual gas can be more widely utilized.

"I think we can point some infrastructure improvements to it," he said.

Acting Director-General of Oil and Gas at the Ministry of Energy and Mineral Resources (ESDM) Djoko Siswanto added, the government would not necessarily divert all gas exported to Singapore for the domestic market. The reason is, if domestic gas needs are minimal, this gas should be marketed to other buyers.

"So it is examined, seen the needs and supply. Then, Singapore also still needs gas, "he said.

Previously, ESDM Minister Arifin Tasrif planned to divert the exported gas because the government was also intensively building gas transmission pipelines in Sumatra, Java, and Kalimantan, to increase domestic gas distribution. The plan is for the government to connect the gas pipeline from the northern tip of Sumatra Island to the east end of Java Island. 

    Later, the gas supply which has been exported to Singapore will be diverted to the Duri-Dumai pipeline. Furthermore, the transmission pipeline in Sumatra will also be connected to the gas pipeline in Java. Thus, the existing gas supply can also be channeled to Java.


"We will connect Belawan-Aceh, Sumatra-Java, and then later there will be Cirebon-Gresik. So that the ConocoPhilips, Sakakemang, and Jambaran-Tiung Biru gas fields can be connected, "he explained.

Jambaran-Tiung Biru gas fields

South Sumatra and West Java are now connected to the South Sumatra West Java (SSWJ) Pipe. Furthermore, Pertagas is building the Gresik-Semarang Pipe which is targeted to start operating next year. So that the pipe sections that have not yet been worked are from Semarang to Cirebon, to West Java. The government prioritizes gas production to meet domestic needs.

Referring to SKK Migas data, domestic gas purchases continue to increase every year. In 2003, domestic gas uptake was recorded at only 1,480 BBTUD. Since 2009, the use of gas in the country has increased to reach 3,323 BBTUD and continues to increase. Now until September 2019, domestic gas purchases reached 4,013.67 BBTUD or 65.76% of the total lifting gas of 6,103.26 BBTUD.

IN INDONESIA

Optimasi Gas Domestik Butuh Infrastruktur


Pengalihan gas yang selama ini diekspor ke Singapura membutuhkan pembangunan infrastruktur agar optimal digunakan di dalam negeri. Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia meminta pemerintah melakukan kajian agar pasokan gas tersebut dialihkan ke dalam negeri. 

Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto mengatakan, saat ini pun Sumatera Selatan merupakan daerah yang kelebihan pasokan gas. Jika gas yang diekspor ke Singapura ini dialihkan ke domestik, maka pasokan gas di wilayah itu akan semakin besar.

“Makanya solusinya untuk dalam negeri, industri dibangun di Sumatera Selatan atau gas itu dialirkan ke tempat lain, misal di Jawa Barat,” katanya.

Untuk ekspor gas, mengacu data SKK Migas, tercatat sebesar 714,26 juta kaki kubik per hari/MMSCFD) hingga akhir September lalu. Realisasi ini lebih rendah dari kontrak yang sebesar 814,43 mmscfd. Ekspor gas melalui pipa ini yakni ke Singapura dan Malaysia. 

Sebagai informasi, ekspor gas ke Singapura selama ini melalui pipa yang dikelola oleh PT Transportasi Gas Indonesia (TGI) yang terbentang dari Blok Corridor ke Lapangan Duri, Sumatera Utara dan Singapura. Di Sumatera, selain pipa TGI, juga terdapat pipa Gas Duri-Dumai. Saat ini, Pipa Duri-Dumai mengalirkan gas dari Blok Corridor, Bentu, dan Jambi Merang. Dwi menyarankan, ada pembangunan infrastruktur agar gas sisa ekspor ini bisa lebih luas pemanfaatannya.

“Saya kira beberapa improvement infrastruktur bisa kita arahkan ke sana,” ujar dia.

Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Djoko Siswanto menambahkan, pemerintah tidak akan serta merta mengalihkan seluruh gas yang diekspor ke Singapura untuk pasar dalam negeri. Pasalnya, jika kebutuhan gas domestik minim, sebaiknya gas ini dipasarkan ke pembeli lain.

“Makanya dikaji, dilihat kebutuhan dan pasokannya. Kemudian, Singapura juga masih perlu gas,” tutur dia.

Sebelumnya, Menteri ESDM Arifin Tasrif berencana mengalihkan gas yang diekspor ini karena pemerintah juga tengah gencar membangun pipa transmisi gas di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan, untuk meningkatkan penyaluran gas domestik. 

    Rencananya, pemerintah akan menyambungkan pipa gas dari ujung utara Pulau Sumatera hingga ujung timur Pulau Jawa. Nantinya, pasokan gas yang selama ini diekspor ke Singapura akan dialihkan ke pipa Duri-Dumai. Selanjutnya, pipa transmisi di Sumatera ini juga akan disambungkan dengan pipa gas di Pulau Jawa. Sehingga, pasokan gas yang ada juga dapat dialirkan hingga ke Jawa. 

“Kami akan sambungkan Belawan-Aceh, Sumatera-Jawa, setelah itu nanti ada ke Cirebon-Gresik. Sehingga lapangan gas ConocoPhilips, Sakakemang, dan Jambaran-Tiung Biru bisa tersambung,” jelasnya.

Sumatera Selatan dan Jawa Barat saat ini sudah tersambung dengan Pipa South Sumatera West Java (SSWJ). Selanjutnya, Pertagas sedang membangun Pipa Gresik-Semarang yang ditargetkan mulai beroperasi pada tahun depan. Sehingga ruas pipa yang belum dikerjakan adalah dari Semarang ke Cirebon, hingga Jawa Barat. Pemerintah memprioritaskan produksi gas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. 

Mengacu data SKK Migas, pembelian gas domestik terus meningkat setiap tahunnya. Pada 2003, serapan gas dalam negeri tercatat hanya 1.480 BBTUD. Sejak 2009, pemanfaatan gas di dalam negeri ini meningkat hingga mencapai 3.323 BBTUD dan terus meningkat. Kini hingga September 2019 lalu, pembelian  gas domestik mencapai 4.013,67 BBTUD atau 65,76% dari total lifting gas 6.103,26 BBTUD.

Investor Daily, Page-9, Saturday, 7 Dec 2019

BPH Migas Agrees to Export Gas to Singapore Stopped



The gas supply contract to Singapore from the Suban Corridor Block managed by ConocoPhillips will expire in 2023. Head of the Downstream Oil and Gas Regulatory Agency (BPH Migas) Fanshurullah Asa supports the government's plan to stop the export of Conoco-Phillips gas to Singapore after the contract expires.

BPH Migas

Previously, Minister of Energy and Mineral Resources (ESDM) Arifin Tasrif, revealed that gas supply from the Conocophillips Suban Field would be diverted to the domestic market to meet domestic gas needs.

Arifin Tasrif

"I support 100% of the gas for domestic interests rather than being exported. For added value and reducing deficits," he said.



To distribute gas from the Corridor Block to the local market, the Duri Dumai, Riau and Sumatra pipelines can be utilized. This gas distribution channel can also flow into Java so that it can be fully utilized to meet local needs. Responding to the plan, ConocoPhillips Vice President Commercial and Business Development Taufik Ahmad said that his party needed to discuss in advance to ensure the government's plan.

ConocoPhillips

"Yes, he said so. We will try to clarify so we understand the context," he said.

Taufik added, in accordance with the current gas purchase and sale agreement, the gas supply contract to Singapore will indeed expire in 2023. However, Taufik said he did not know for certain about the volume of gas currently being distributed. Nevertheless, Taufik stated that ConocoPhillips had not yet sought out potential buyers in the country.

IN INDONESIA

BPH Migas Setuju Ekspor Gas ke Singapura Disetop


Kontrak pasokan gas ke Singapura dari Lapangan Suban Blok Corridor yang dikelola Conocophillips akan berakhir tahun 2023. Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Fanshurullah Asa mendukung rencana pemerintah menghentikan ekspor gas Conoco-phillips ke Singapura setelah kontrak berakhir. 

Sebelumnya Menteri Energi dan Suinber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, mengungkapkan pasokan gas dari Lapangan Suban milik Conocophillips akan dialihkan ke pasar domestik untuk memenuhi kebutuhan gas dalam negeri. 

"Saya mendukung 100% gas untuk kepentingan dalam negeri bukan diekspor. Untuk nilai tambah dan mengurangi defisit," katanya.

Untuk menyalurkan gas dari Blok Corridor ke pasar lokal bisa memanfaatkan jalur pipa distribusi gas Duri Dumai, Riau, dan pipa Sumatera. Jalur distribusi gas ini juga bisa bisa mengalir menuju Jawa sehingga bisa dimanfaatkan sepenuhnya untuk pemenuhan kebutuhan lokal. Menanggapi rencana tersebut, Vice President Commercial and Business Development ConocoPhillips Taufik Ahmad menyatakan pihaknya perlu berdiskusi terlebih dahulu demi memastikan rencana pemerintah tersebut.

"Iya, katanya begitu. Kami akan mencoba mengklarifikasi agar kami memahami konteksnya," katanya.

Taufik menambahkan, sesuai dengan perjanjian jual beli gas yang berlaku selama ini, kontrak pemasokan gas ke Singapura memang akan berakhir pada tahun 2023. Namun, Taufik dia mengaku tidak mengetahui secara pasti mengenai volume gas yang disalurkan saat ini. Meski demikian Taufik menyatakan bahwa Conocophillips belum mencari potential buyer di dalam negeri.

Kontan, Page-14, Friday, 6 Dec 2019

Transfer of Rokan Block Urgently Performed



The Special Task Force for Upstream Oil and Gas Business Activities (SKK Migas) stated that an agreement to transfer the management of the Rokan Block between PT Pertamina (Persero) and PT Chevron Pacific Indonesia was urgent. If the transfer of management has stalled, Rokan Block's oil production could drop dramatically when the contract expires in 2021.

Dwi Soetjipto

Head of SKK Migas Dwi Soetjipto said negotiations over the management of the Rokan Block between Pertamina and Chevron had not yet found an agreement. In fact, Chevron's work plan and budget / WP & B for the Rokan Block in 2020 have not included Pertamina's plan to drill a well in the block next year. Although Pertamina has a commitment to do this drilling. Initially, the company targeted an agreement between Pertamina and Chevron last month.


the Rokan Block by Chevron

"Yes, it is indeed late. Therefore, SKK Migas has asked various parties to support, encourage, because this is B to B. This is very urgent because it concerns WP&B 2020. We strongly encourage this to be finished soon, "he said during a meeting with Commission VII DPR.

He revealed, previously there had been a legal problem related to the transfer of management, but it had been resolved. One of the things that is still difficult is the economy. Both have their respective counts related to liabilities and benefits that exist in the next two years until the end of 2021.

"If there are many ripple counts here, of course finally the liabilities are large. So now it is finalizing, "Dwi said.

According to him, this negotiation must immediately produce an agreement. This is because oil production from the Rokan Block in the next two years is very dependent on operational activities that will be carried out this year and next.

"The longer it will have an impact on oil production in 2020 and 2021. If there is no activity, production will be lost again," he said.

Pertamina already has a plan related to what activities will be carried out in the Rokan Block next year. Not only that, this state-owned oil and gas company has also set up funds. Pertamina Upstream Director Dharmawan H Samsu said that his office was ready to fund the drilling of wells in the Rokan Block next year. However, the realization of this activity depends on the agreement with Chevron. Regarding the number of wells to be drilled, he wants as much as possible, but this is influenced by the availability of the wellhead and valve they have.

"In our scenario, we will see how many warehouses they are in, what we are similar in, how much we can borrow, this is being worked on. Then we have to activate the crew first. So it is needed at least the second quarter, "he said.

During the heyday of Rokan Block in 1973, oil production was almost 1 million BPD. However, oil and gas block production continues to fall over time. In 2011, the Rokan Block still produced around 356.98 thousand BPD of oil or contributed 39.56% of the total national oil production at that time 902.35 BPD.



However, according to SKK Migas data, at the end of September, the block's oil lifting was only 192,193 BPD or 25.8% of the total national oil lifting of 744,700 BPD. The government has appointed Pertamina as the operator of the Rokan Block after its existing contract expires in 2021 in July 2018. However, the Rokan Block PSC contract for the period after 2021, had just been signed by Pertamina in May 2019. The transition process for the management of the Rokan Block had only begun operation after the new contract was signed.

Referring to this new contract, Pertamina has a definite work commitment (KKP) for the first five years in the Rokan Block worth the US $ 500 million or around Rp 7.2 trillion. Some of the activities to be funded by the CTF include an EOR study of US $ 4 million, drilling of 11 exploration wells of US $ 69.8 million, drilling of five Telisa wells of US $ 18.1 million, stage-1 CEOR 7 pattern of US $ 247 million, and stage-1 steam flood Kulin or Rantau Bais US $ 88.6 million.

IN INDONESIA

Alih Kelola Blok Rokan Mendesak Dilakukan


Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyatakan adanya kesepakatan alih kelola Blok Rokan antara PT Pertamina (Persero) dan PT Chevron Pacific Indonesia sudah mendesak. Jika alih kelola tersendat, produksi minyak Blok Rokan bisa turun drastis ketika kontrak berakhir di 2021. 

Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto menuturkan, negosiasi alih kelola Blok Rokan antara Pertamina dan Chevron belum juga menemukan kata sepakat. Bahkan, dalam rencana kerja dan anggaran /WP&B Chevron untuk Blok Rokan di 2020 belum memasukkan rencana Pertamina mengebor sumur di blok tersebut pada tahun depan. Walaupun Pertamina memiliki komitmen melakukan pengeboran ini. Awalnya, pihaknya menargetkan adanya kesepakatan antara Pertamina dan Chevron pada bulan lalu. 

“Iya, memang terlambat. Oleh karena itu, SKK Migas sudah minta ke berbagai pihak untuk ikut mendukung, mendorong, karena ini kan B to B. Ini mendesak sekali karena menyangkut WP&B 2020. Kami mendorong betul untuk ini bisa segera selesai,” kata dia di sela rapat dengan Komisi VII DPR.

Dia mengungkapkan, sebelumnya sempat ada masalah legal terkait alih kelola ini, namun sudah diselesaikan. Salah satu hal yang masih sulit yakni ke ekonomian. Keduanya memiliki hitungan masing-masing terkait liabilitas dan manfaat yang ada dalam dua tahun ke depan hingga akhir 2021.

“Kalau disini hitung riaknya banyak, tentu akhirnya liabilitasnya besar. Jadi sekarang sedang memfinalkan lah,” ujar Dwi.

Menurutnya, negosiasi ini harus segera menghasilkan kesepakatan. Pasalnya, produksi minyak dari Blok Rokan pada dua tahun mendatang sangat bergantung pada kegiatan operasi yang akan dilaksanakan di tahun ini dan tahun depan. 

“Jika semakin lama akan berdampak pada produksi minyak 2020 dan 2021. Kalau tidak ada aktivitas, ya hilang lagi produksinya,” tegas dia. 

Pertamina telah memiliki perencanaan terkait kegiatan apa saja yang akan dijalankan di Blok Rokan pada tahun depan. Tidak hanya itu, perusahaan migas milik pemerintah ini juga telah menyiapkan dana. Direktur Hulu Pertamina Dharmawan H Samsu sempat mengungkapkan, pihaknya siap mendanai pengeboran sumur di Blok Rokan pada tahun depan. Namun, realisasi kegiatan ini tergantung pada kesepakatan dengan Chevron. Terkait jumlah sumur yang akan dibor, pihaknya ingin sebanyak-banyaknya, namun hal ini dipengaruhi oleh ketersediaan well head dan valve yang dimiliki.

“Skenario kami, akan lihat di gudang mereka berapa, yang serupa di tempat kami berapa, yang bisa kami pinjam berapa, ini sedang dikerjakan. Kemudian kami harus mengaktifkan kru dulu. Jadi diperlukan paling tidak at least second quartal,” ujarnya.

Blok Rokan pada masa kejayaannya di 1973, produksi minyaknya hampir mencapai 1 juta bph. Namun, produksi blok migas ini terus turun seiring berjalannya waktu. Di 2011, Blok Rokan masih menghasilkan minyak sekitar 356,98 ribu bph atau berkontribusi 39,56% dari total produksi minyak nasional saat itu 902,35 bph. 

Namun mengacu data SKK Migas, di akhir September lalu, lifting minyak blok ini hanya 192.193 bph atau 25,8% dari total lifting minyak nasional 744.700 bph. Pemerintah telah menetapkan Pertamina sebagai operator Blok Rokan pasca kontrak eksistingnya berakhir pada 2021 nanti pada Juli tahun 2018 lalu. Namun, kontrak PSC Blok Rokan untuk periode setelah 2021, baru saja ditandatangani oleh Pertamina pada Mei tahun 2019. Proses transisi pengelolaan Blok Rokan baru saja  beroperasi pasca kontrak baru ditandatangani.

Mengacu kontrak baru ini, Pertamina memiliki komitmen kerja pasti (KKP) untuk lima tahun pertama di Blok Rokan senilai US$ 500 juta atau sekitar Rp 7,2 triliun. Beberapa kegiatan yang akan didanai dengan KKP ini yakni studi EOR senilai US$ 4 juta, pengeboran 11 sumur eksplorasi US$ 69,8 juta, pengeboran lima sumur Telisa US$ 18,1 juta, stage-1 CEOR 7 pattern US$ 247 juta, dan stage-1 steam flood Kulin atau Rantau Bais US$ 88,6 juta.

Investor Daily, Page-9, Friday, 6 Dec, 2019

The Government Guarantees Fertilizer and Petrochemical Industrial Gas Supply



The government is committed to meeting gas needs for the fertilizer and petrochemical industry, in accordance with the applicable regulations and production sharing contracts (PSCs). In fact, seven large gas projects operating in the next few years have the potential to be a source of gas for the industry.

Acting Director-General of Oil and Gas at the Ministry of Energy and Mineral Resources (ESDM) Djoko Siswanto said that in the Oil and Gas Law, the government has prioritized gas supply for the country, particularly the fertilizer and petrochemical industries. In fact, in some PSCs with oil and gas companies, there is an obligation to set aside a portion of their gas production for the domestic market (DMO).

"This DMO problem is only a matter of price. There are DMOs whose prices are set, there are market prices. Then, the DMO contract is five years old, [there is] the same as the contract. It depends on the economy when preparing the POD (the plan of development), "he said after a meeting with the House of Representatives Commission VII.

PUPUK ISKANDAR MUDA (PIM)

He admitted some fertilizer factories are still difficult to get gas, one of them is PT Pupuk Iskandar Muda (PIM). The reason is that the gas sources in this region are starting to run out. In return, the government covered the gas needs of this fertilizer plant using liquefied natural gas / LNG with the risk of very high gas prices.

Pupuk Kalimantan Timur (PKT)

However, fertilizer factories in some regions can obtain gas at competitive prices such as PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT), PT Pupuk Kujang Cikampek (PKC), PT Pupuk Sriwidjaja (Pusri), and PT Petrokimia Gresik. In fact, the CCP can obtain gas at prices below the US $ 5 per million British thermal units (MMBTU). Going forward, the fertilizer plant can get gas from supplies currently exported through pipes to Singapore and Malaysia.

"In 2022, fertilizer factories are needed, while the export of gas through pipes from the working area in Natuna and Grissik Field will be completed. So, Kujang and Sriwidjaja Fertilizers can use this, "said Djoko.

The Head of the Special Task Force for Upstream Oil and Gas Business Activities (SKK Migas) Dwi Soetjipto added that the gas supply for PIM had to wait for the development of several oil and gas blocks in the region. The supply of gas directly from the pipeline is expected to cut gas prices to PIM.

"In the future, we will discuss so that the price can be reduced by using other sources. Potential is in the Andaman Blocks I, II, and III. From the available data, the potential is good, "he said.

PT Pupuk Indonesia (Persero)

The Managing Director of PT Pupuk Indonesia (Persero) Aas Asikin Idat revealed that his gas supply shortage problem had already been faced. In addition, some gas supply contracts owned by fertilizer companies are short-term for around 2-3 years. He hopes to be able to obtain long-term supply certainty.

"Moreover, the majority of gas contracts expire in 2021-2022 and many have no certainty about the gas, including the allocation we have not received," he explained.
The absence of long-term supply, he claimed, would have an impact on the continued operation of the plant. Aas gave an example, the PIM-owned factory would stop operating altogether if there was no certainty of gas in 2020. Then, some of the Pupuk Kujang and Pusri factories would also immediately stop operating in 2023 and 2024 respectively due to supply shortages.

PUPUK SRIWIJAYA (PUSRI)

While the urea Petrochemical Gresik plant has the potential to operate in 2021. But he admitted, the absence of long-term gas supply is related to gas prices. At present, the gas price paid by his party exceeds the factory economy, which is an average of US $ 5.8 per MMBtu. 


    This figure is even higher than the price of gas for fertilizer plants in several other countries, where an average of US $ 3.95 per MMBtu. On the other hand, the price of this gas reaches 70% of the total production cost.

"Iskandar Muda has a contract, but this is not yet effective because the price is set at the US $ 7.8 per MMBtu. Some Sriwidjaja ended in 2023-2027 at a price of US $ 5.2-6 plus a toll fee. The Kujang Fertilizer Factory ends in 2022 at a price of US $ 5.73-6 per MMBtu. Petrokimia Gresik has a relatively large price of around US $ 6.36-7.85 per MMBtu, "said Aas.

Seven Projects

Meanwhile, Djoko continued there have been a number of gas projects that could secure gas supplies for fertilizer and petrochemical plants in the future. He hoped that a fertilizer and petrochemical plant would be built near this gas project.

"For example, building [a factory] in Bintuni, or [near] Sakakemang," he said.

Dwi added, there were seven gas projects that could be a source of gas for the fertilizer and petrochemical industries. The total potential supply of this gas reaches 1,167 million cubic feet per day / MMSCFD. The seven gas projects will start producing gas in the period 2023-2027.

"In South Sumatra there is a Sakakemang Project by Repsol SA starting production in 2021 of 300 mmscfd, this can be accelerated in part," he said.

The buyer of this gas is Pupuk Indonesia. Furthermore, the Nunukan PT Pertamina Hulu Energi (PHE) Project 90 mmscfd began in 2024 with the buyer of PT Karya Mineral Jaya. Gas projects in the Bontang Area and Indonesia Deepwater Development (IDD) 100 MMSCFD starting in 2023 with buyers of PT Kaltim Methanol Industri (KMI) and Kaltim Pharma Industri (KPI). 

PT Pertamina EP Cepu (PEPC)

     The Sandalwood and Alas Tua Project by PT Pertamina EP Cepu (PEPC) 150 mmscfd starting in 2023. Then, the Tangguh Train III Refinery Project for the petrochemical industry each amounted to 90 mmscfd for phase I in 2022 and phase II in 2026.

Genting Oil

The Kasuri Project by Genting Oil with petrochemical industry buyers amounted to 197 mmscfd starting in 2023. Finally, the Abadi LNG Project amounted to 150 mmscfd in 2027 and will be accelerated.

Dwi admitted it is not impossible that all national gas production is used domestically. However, this depends on the readiness and ability of the domestic industry to buy the gas supply. Not only that, but the readiness of the gas distribution infrastructure is also important. 

     Referring to SKK Migas data, the distribution of gas into the country until last September was recorded at 4,013.67 mmscfd from the total lifting gas of 6,103.26 mmscfd. While the total gas supply for the fertilizer industry is 749.44 mmscfd.

IN INDONESIA

Pemerintah Jamin Pasokan Gas Industri Pupuk dan Petrokimia


Pemerintah berkomitmen memenuhi kebutuhan gas untuk industri pupuk dan petrokimia, sesuai dalam regulasi dan kontrak kerja sama (production sharing contract/PSC) yang berlaku. Bahkan, tujuh proyek gas besar yang beroperasi dalam beberapa tahun ke depan berpotensi menjadi sumber gas bagi industri tersebut. 

Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Djoko Siswanto mengatakan, dalam Undang-Undang Migas, pemerintah telah memprioritaskan pasokan gas untuk dalam negeri, khususnya industri pupuk dan petrokimia. Bahkan di beberapa PSC dengan perusahaan migas, terdapat kewajiban menyisihkan sebagian produksi gasnya untuk pasar domestik (domestic market obligation/DMO).

“Soal DMO ini kan soal harga saja. Ada DMO yang hargasnya ditentukan, ada yang harga pasar. Kemudian, kontrak DMO ini ada yang lima tahun, [ada yang] sama dengan kontraknya. Itu tergantung keekonomian saat menyusun POD (plan of development),” kata dia usai rapat dengan Komisi VII DPR.

Diakuinya, beberapa pabrik pupuk memang masih sulit mendapatkan gas, salah satunya PT Pupuk Iskandar Muda (PIM). Pasalnya, sumber gas yang ada di wilayah ini memang mulai habis. Sebagai gantinya, pemerintah menutup kebutuhan gas pabrik pupuk ini menggunakan gas alam cair/LNG dengan risiko harga gas yang sangat tinggi. 

Namun pabrik pupuk di beberapa wilayah bisa memperoleh gas dengan harga kompetitif seperti PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT), PT Pupuk Kujang Cikampek (PKC), PT Pupuk Sriwidjaja (Pusri), dan PT Petrokimia Gresik. Bahkan, PKT bisa memperoleh gas dengan harga di bawah US$ 5 per juta british thermal unit (mmbtu). Ke depannya, pabrik pupuk bisa memperoleh gas dari pasokan yang saat ini diekspor melalui pipa ke Singapura dan Malaysia. 

“Di 2022, pabrik pupuk sudah butuh, sementara ekspor gas melalui pipa dari wilayah kerja di Natuna dan Lapangan Grissik akan selesai. Jadi, Pupuk Kujang dan Sriwidjaja bisa pakai ini,” tutur Djoko. 

Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto menambahkan, pasokan gas untuk PIM memang harus menunggu pengembangan beberapa blok migas di wilayah tersebut. Adanya pasokan gas langsung dari pipa diharapkan bisa memangkas harga gas ke PIM.

“Ke depan, kami diskusi agar harganya bisa ditekan dengan memanfaatkan sumber lain. Potensi ada di Blok Andaman I, II, dan III. Dari data yang ada, potensinya bagus,” ujarnya.

Direktur Utama PT Pupuk Indonesia (Persero) Aas Asikin Idat mengungkapkan, masalah kekurangan pasokan gas sudah dihadapi pihaknya. Ditambah lagi, sebagian kontrak pasokan gas yang dimiliki perusahaan pupuk bersifat jangka pendek sekitar 2-3 tahun saja. Pihaknya berharap bisa memperoleh kepastian pasokan untuk jangka panjang.

“Apalagi, mayoritas kontrak gas berakhir di 2021-2022 dan banyak yang belum ada kepastian gasnya, termasuk alokasinya belum kami terima,” jelasnya.

Tidak adanya pasokan jangka panjang, diklaimnya akan berdampak pada kelanjutan operasi pabrik. Aas mencontohkan, pabrik milik PIM akan berhenti operasi seluruhnya jika tidak ada kepastian gas di 2020. Kemudian, sebagian pabrik Pupuk Kujang dan Pusri juga akan menyusul berhenti beroperasi masing-masing di 2023 dan 2024 karena ada kekurangan pasokan. 

Sementara pabrik urea Petrokimia Gresik berpotensi beroperasi pada 2021. Namun diakuinya, tidak adanya pasokan gas jangka panjang ini berkaitan dengan harga gas. Saat ini, harga gas yang dibayarkan pihaknya melebihi keekonomian pabrik, yakni rata-rata US$ 5,8 per mmbtu. 

     Angka ini bahkan lebih tinggi dari harga gas bagi pabrik pupuk di beberapa negara lain, di mana rata-rata US$ 3,95 per mmbtu. Di sisi lain, harga gas ini mencapai 70% dari total biaya produksi.

“Iskandar Muda ada kontrak, tetapi ini belum juga efektif karena harga yang ditetapkan US$ 7,8 per mmbtu. Sriwidjaja ada yang berakhir di 2023-2027 dengan harga US$ 5,2-6 ditambah toll fee. Pabrik Pupuk Kujang berakhir di 2022 dengan harga US$ 5,73-6 per mmbtu. Petrokimia Gresik harga relative besar sekitar US$ 6,36-7,85 per mmbtu,” kata Aas.

Tujuh Proyek

Sementara itu, Djoko melanjutkan telah ada sejumlah proyek gas yang bisa mengamankan pasokan gas untuk pabrik pupuk dan petrokimia di masa mendatang. Dia berharap, pabrik pupuk dan petrokimia dibangun di dekat proyek gas ini. 

“Misalnya bangun [pabrik] di Bintuni, atau [dekat] Sakakemang,” ujarnya.

Dwi menambahkan, terdapat tujuh proyek gas yang bisa menjadi sumber gas bagi industri pupuk dan petrokimia. Total potensi pasokan gas ini mencapai 1.167 juta kaki kubik per hari/MMSCFD. Ketujuh proyek gas ini akan mulai memproduksi gas pada periode 2023-2027.

“Di Sumatera Selatan ada Proyek Sakakemang oleh Repsol SA mulai berproduksi di 2021 sebesar 300 mmscfd, ini bisa dipercepat sebagian,” ujarnya. 

Pembeli gas ini adalah Pupuk Indonesia. Selanjutnya, Proyek PT Pertamina Hulu Energi (PHE) Nunukan 90 mmscfd mulai 2024 dengan pembeli PT Karya Mineral Jaya. Proyek gas di Area Bontang dan Indonesia Deepwater Development (IDD) 100 mmscfd mulai 2023 dengan pembeli PT Kaltim Methanol Industri (KMI) dan Kaltim Pharma Industri (KPI). 

     Proyek Cendana dan Alas Tua oleh PT Pertamina EP Cepu (PEPC) 150 mmscfd mulai 2023. Kemudian, Proyek Kilang Tangguh Train III untuk industri petrokimia masing-masing sebesar 90 mmscfd untuk tahap I di 2022 dan tahap II di 2026. 

Proyek Kasuri oleh Genting Oil dengan pembeli industri petrokimia sebesar 197 mmscfd mulai 2023. Terakhir, Proyek LNG Abadi sebesar 150 mmscfd di 2027 dan akan dipercepat. 

Dwi mengakui, bukan tidak mungkin seluruh produksi gas nasional digunakan di dalam negeri. Namun, hal ini tergantung kesiapan dan kemampuan industri domestik membeli pasokan gas tersebut. Tidak hanya itu, kesiapan infrastruktur distribusi gas juga penting. 

      Mengacu data SKK Migas, penyaluran gas ke dalam negeri hingga September lalu tercatat mencapai 4.013,67 mmscfd dari total lifting gas 6.103,26 mmscfd. Sementara total pasokan gas untuk industri pupuk yakni sebesar 749,44 mmscfd.

Investor Daily, Page-9, Friday, 6 Dec 2019

Wednesday, January 15, 2020

Rokan Production Concerned to Drop



The delay in the transition process over the management of the Rokan Block in Riau from PT Chevron Pacific Indonesia to PT Pertamina Hulu Rokan is feared to cause production levels from the working area to fall.

Dwi Soetjipto

The Head of the Special Task Force for Upstream Oil and Gas Business Activities (SKK Migas) Dwi Soetjipto said that discussion of the transition between Pertamina and Chevron was still ongoing. According to him, the target of completing the transition agreement has been several times reversed from the beginning of last October to November, which did not immediately find a solution.

He added, what made the discussion last a long time was the calculation of the benefits obtained by the parties within 2 years until the end of the contract in 2021.

"And also the liabilities, each of them has an assumption, so now we are finalizing, yesterday there were some legal issues, but this has been completed," he said.

the Rokan block 

Dwi explained the Work Program and Budget (WP&B) in the Rokan block was still unfinished because they still had to wait for an agreement between Pertamina and Chevron. According to him, if it is not immediately agreed that production in 2021 will also be disrupted. Because the activities delivered in WP&B 2020 determine the production and activities of 2021.

On the other hand, Acting Director-General of Oil and Gas Djoko Siswanto said the Ministry of Energy and Mineral Resources (ESDM) itself said it would send a letter to Chevron and Pertamina in the near future.

Djoko claimed to encourage the transition process between Chevron and Pertamina to be realized optimally. Senior Vice President Policy and The Government and Public Affairs of PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) Wahyu Budiarto continued to coordinate with Pertamina and SKK Migas to smooth the Rokan Block transition.

"It hasn't changed much, we continue to coordinate," he said.

IN INDONESIA

Produksi Rokan Dikhawatirkan Turun


Tersendatnya proses transisi alih kelola Blok Rokan di Riau dari PT Chevron Pacific Indonesia kepada PT Pertamina Hulu Rokan dikhawatirkan membuat level produksi dari Wilayah kerja tersebut jatuh. 

Kepala Satuan Kerja Khusus Pelakasan Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) Dwi Soetjipto mengatakan mengatakan pembahasan transisi antara Pertamina dan Chevron masih berlangsung. Menurutnya, target penyelesaian kesepakatan transisi beberapa kali mundur dari semula Oktober lalu hingga November yang tidak segera menemui penyelesaian.

Dia menambahkan, yang membuat pembahasan berlangsung dalam waktu lama adalah perhitungan manfaat yang didapatkan oleh para pihak dalam 2 tahun sampai dengan akhir kontrak pada 2021.

“Dan juga liabilitasnva, itu kan masing-masing punya asumsi, jadi sekarang kita sedang memfinalkanlah, kemarin ada beberapa masalah legal, tapi ini sudah selesai,” katanya.

Dwi menjelaskan Work Progran and Budget (WP&B) di blok Rokan masih belum selesai karena masih harus menunggu kesepakatan antara Pertamina dan Chevron. Menurutrrya, jika tidak segera disepakati produksi pada 2021 akan ikut terganggu. Pasalnya, aktivitas yang disampaikan dalam WP&B 2020 menentukan produksi dan aktivitas 2021.

Di sisi lain, Pelaksana Tugas Dirjen Migas Djoko Siswanto mengatakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sendiri menyatakan akan mengirim surat ke pihak Chevron dan Pertamina dalam waktu dekat ini.

Djoko mengaku mendorong agar proses transisi antara Chevron ke pihak Pertamina segera terealisasi secara optimal. Senior Vice President Policy and Government and Public Affairs PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) Wahyu Budiarto pun tetap berkoordinasi dengan Pertamina dan SKK Migas untuk memuluskan transisi Blok Rokan. 

“Belum banyak berubah, kami terus berkoordinasi," katanya.

Bisnis Indonesia, Page-20, Friday, Dec 6,  2019

Easing of Profit-Sharing is Positively Welcomed



The Indonesian Petroleum Association welcomed the government's plan to loosen the establishment of oil and gas revenue-sharing schemes. Easing it is expected to increase investor interest in investing in Indonesia's upstream oil and gas sector. Until the third quarter of 2019, the realization of upstream oil and gas investment amounted to 8.1 billion US dollars.

This year, the upstream oil and gas investment target are 13.4 billion US dollars. Currently, there are two oil and gas revenue sharing schemes in Indonesia, namely gross split and cost recovery. 

     Gross split is a profit-sharing scheme based on gross production, while cost recovery is the replacement of exploration, field development, and production costs incurred by cooperation contract contractors (KKKS).

A gross split is imposed for new contracts in a work area. As for contract extension, KKKS are given two options for profit-sharing schemes, namely gross split or cost recovery.

Louise McKenzie

"The plan for the flexibility of the revenue sharing scheme will certainly be a positive signal for us. Need further discussion to discuss this. But, in essence, we will follow whatever the government decides, "said Indonesian Oil Association (IPA) President Louise McKenzie.

Arifin Tasrif

The Minister of Energy and Mineral Resources, Arifin Tasrif, in the easing of profit-sharing schemes was eased in a working meeting with Commission VII of the DPR last week in Jakarta. IPA Vice President Ronald Gunawan added, the stability of the contract was believed to increase the attractiveness of Indonesia's upstream oil and gas investment in the eyes of investors.

IN INDONESIA

Pelonggaran Bagi Hasil Disambut Positif


Asosiasi Perminyakan Indonesia menyambut positif rencana pemerintah melonggarkan penetapan skema bagi hasil minyak dan gas bumi. Pelonggaran itu diharapkan meningkatkan minat investor untuk berinvestasi di sektor hulu minyak dan gas Indonesia. Sampai dengan triwulan III-2019, realisasi investasi hulu minyak dan gas sebesar 8,1 miliar dollar AS. 

Tahun ini, target investasi hulu minyak dan gas 13,4 miliar dollar AS. Saat ini ada dua skema bagi hasil migas di Indonesia, yaitu gross split dan cost recovery. Gross split adalah skema bagi hasil berdasarkan produksi bruto, sedangkan cost recovery adalah penggantian biaya eksplorasi, pengembangan lapangan, dan produksi yang dikeluarkan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). 

Gross split dikenakan untuk kontrak baru pada sebuah wilayah kerja. Adapun untuk perpanjangan kontrak, KKKS diberi dua pilihan skema bagi hasil, yakni gross split atau cost recovery.

”Rencana fleksibilitas skema bagi hasil tentu menjadi sinyal positif bagi kami. Perlu diskusi lebih jauh untuk membahas hal tersebut. Namun, pada intinya, kami akan mengikuti apa pun yang menjadi keputusan pemerintah,” kata Presiden Asosiasi Perminyakan Indonesia (IPA) Louise McKenzie.

Wacana pelonggaran skema bagi hasil dilontarkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR pekan lalu di Jakarta. Wakil Presiden IPA Ronald Gunawan menambahkan, kestabilan kontrak diyakini dapat meningkatkan daya tarik investasi hulu migas Indonesia di mata investor.

Kompas, Page-14, Thursday, Dec 5,  2019