google.com, pub-9591068673925608, DIRECT, f08c47fec0942fa0 All Posts - MEDIA MONITORING OIL AND GAS -->

MARKET

Wednesday, February 5, 2020

Pertamina-OOG Discontinues Cooperation in Build Bontang Refinery



PT Pertamina (Persero) did not continue to work with the oil and gas company from Oman, Overseas Oil and Gas (OOG) Llc, in working on a new refinery with a capacity of 300 thousand barrels per day (BPD) in Bontang, East Kalimantan. Pertamina is now looking for new partners to complete the project.

Overseas Oil and Gas (OOG)

This was known in a meeting between Pertamina and the House of Representatives Commission VI on Monday (3/2). In his presentation, Pertamina reported the development of the Bontang refinery development in which the proposed Regional Spatial Plan (RSP/RTRW) had been submitted to the local regional government.

However, the company also said that the framework agreement / FWA agreement with partners had ended. The intended partner is OOG. FWA is the basis for both companies to form a joint venture / JV. This FWA is valid for 12 months. Therefore, the company formation between Pertamina and OOG should have been completed at the end of 2019. One of the things discussed in the formation of the JV is the share ownership of each company.



Pertamina Megaprocess Processing and Petrochemical Director Ignatius Tallulembang confirmed that cooperation with OOG did not continue. Furthermore, he will look for new partners in building the refinery project.

"We are open [looking for new partners]. But with Oman, we have [not continued], "he said in Jakarta.

In fact, according to Pertamina's data, the Bontang Refinery Project is targeted to start operating in the next five years or in February 2025. So far, OOG has signed a memorandum of understanding with PT Meta Epsi and PT Sanurhasta Mitra Tbk (MINA) to build the Bontang Refinery facility. The two companies will build supporting facilities (outside battery limit / OSBL), such as pipes, water treatment facilities, and fabrication.

In addition, OOG has also conducted open bidding in Singapore to engineering companies with a good reputation for conducting a financial feasibility study on 30 April 2019. This study will be used as a reference by lenders and banks to participate in funding the new refinery project.

The Bontang refinery requires a total investment of between the US $ 10-15 billion. In contrast to the cooperation between Pertamina and Rosneft Oil Company, for the Bontang Refinery Project, the funding needed to build the refinery is fully borne by OOG. While Pertamina obtained a 10% golden share as well as offtake of several products. The shareholding of this company can be increased.

Luhut Binsar Pandjaitan

Signals of continued cooperation with OOG have been voiced by the Coordinating Minister for Maritime Affairs and Investment Luhut Binsar Pandjaitan. The project partner at that time Luhut revealed that it could also be replaced if the performance was not good. The reason is, even though the project has been agreed since a few years ago this project has not yet been completed.


"What [Omani] company we want to find is a possible partner with Abu Dhabi, ADNOC or whatever," he said.

However, in fact, the oil and gas company from the United Arab Emirates actually did not enter the Bontang Refinery Project. The Abu Dhabi National Oil Company (ADNOC) agreed to explore further the potential of developing the Integrated Petrochemical Refinery Complex in Balongan, West Java. Pertamina and Adnoc signed a memorandum of understanding at the end of last year.

Mubadala Petroleum

While Mubadala Investment Company, a financial investment company from the United Arab Emirates (UAE), is interested in becoming an investor in the Balikpapan Refinery Project worth the US $ 5.5 billion. Pertamina has signed a principle agreement or Refinery Investment Principle Agreement to further evaluate investment cooperation opportunities in the processing sector.

Saudi Aramco

The agreement will provide a clear structure to ensure cooperation as a pathway to potential joint investment. Not only Bontang Refinery, but Pertamina also does not have an agreement with Saudi Aramco regarding the continued cooperation in capacity building and upgrading of the Cilacap Refinery.

After the asset valuation polemic that never ended, the two agreed to change the cooperation scheme into a lease. Under this scheme, Pertamina will pay the rental fees for the joint venture with Saudi Aramco which is building a new refinery unit at the Cilacap Refinery Complex. While the refinery unit which is currently in operation remains the property of Pertamina.

Nicke Widyawati

"The target is that we will agree to a leasing agreement within the next month. And if this happens, then the deal will happen, after that, we will carry out development, "said Pertamina President Director Nicke Widyawati.

The Bontang and Cilacap refineries are part of the six refinery projects developed by Pertamina. In addition to the Bontang refinery, another new refinery project developed by the company is Tuban Refinery in East Java. While the upgrading projects undertaken by other companies are in Balikapapan, East Kalimantan, in Balongan, West Java, and Dumai, Riau.

Arifin Tasrif 

Previously, Minister of Energy and Mineral Resources (ESDM) Arifin Tasrif encouraged the speeding of the refinery project undertaken by Pertamina. The refinery upgrading project is expected to start operating in the second period of President Joko Widoro's government. While the new refinery project has at least begun the construction phase.

IN INDONESIA

Pertamina-OOG Tidak Lanjutkan Kerja Sama Membangun Kilang Bontang

PT Pertamina (Persero) tidak melanjutkan kerja sama dengan perusahaan minyak dan gas dari Oman, Overseas Oil and Gas (OOG) Llc, dalam mengerjakan kilang baru berkapasitas 300 ribu barel per hari (bph) di Bontang, Kalimantan Timur. Pertamina kini mencari mitra baru untuk merampungkan proyek tersebut.

Hal ini diketahui dalam rapat antara Pertamina dan Komisi VI DPR RI pada Senin (3/2) lalu. Dalam presentasinya, Pertamina melaporkan perkembangan pembangunan Kilang Bontang di mana usulan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) telah disampaikan kepada pemerintah daerah setempat. 

Namun, perseroan juga menyampaikan bahwa kesepakatan frame work agreement/FWA dengan mitra telah berakhir. Mitra yang dimaksud adalah OOG. FWA merupakan dasar bagi kedua perusahaan untuk membentuk joint venture/JV. FWA ini berlaku selama 12 bulan. Sehingga, seharusnya pembentukan perusahaan antara Pertamina dan OOG ini rampung di akhir 2019 lalu. Salah satu hal yang dibahas dalam pembentukan JV adalah kepemilikan saham masing-masing perusahaan.

Direktur Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia Pertamina Ignatius Tallulembang membenarkan bahwa kerja sama dengan OOG tidak berlanjut. Selanjutnya, pihaknya akan mencari mitra baru dalam membangun proyek kilang tersebut.

“Kami open [cari mitra baru]. Tetapi dengan Oman, kami sudah [tidak dilanjutkan],” kata dia di Jakarta.

Padahal, mengacu data Pertamina, Proyek Kilang Bontang ditargetkan mulai beroperasi dalam lima tahun ke depan atau pada Februari 2025. Sejauh ini, OOG telah menandatangani nota kesepahaman dengan PT Meta Epsi dan PT Sanurhasta Mitra Tbk (MINA) untuk membangun fasilitas Kilang Bontang. Kedua perusahaan ini akan membangun fasilitas pendukung (outside battery limit/OSBL), seperti pipa, fasilitas water treatment, dan fabrikasi. 

Selain itu, OOG juga telah melakukan open bidding di Singapura kepada perusahaan engineering dengan reputasi bagus untuk melakukan kajian kelayakan finansial pada 30 April 2019. Kajian ini akan digunakan sebagai acuan oleh para pemberi pinjaman dan perbankan untuk turut serta mendanai proyek kilang baru tersebut.

Kilang Bontang membutuhkan total investasi antara US$ 10-15 miliar. Berbeda dengan kerja sama Pertamina dan Rosneft Oil Company, untuk Proyek Kilang Bontang, pendanaan yang dibutuhkan dalam membangun kilang ditanggung sepenuhnya oleh OOG. Sementara Pertamina memperoleh golden share 10% sekaligus sebagai offtaker beberapa produk. Bagian kepemilikan saham perseroan ini dapat ditingkatkan.

Sinyal tidak berlanjutnya kerja sama dengan OOG ini pernah disuarakan oleh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Mitra proyek ini saat itu Luhut mengungkapkan juga dapat diganti jika kinerjanya tidak bagus. Pasalnya, meski proyek sudah disepakati sejak beberapa tahun lalu proyek ini belum juga rampung.

“Yang [perusahaan] Oman kami mau carikan mitra mungkin dengan Abu Dhabi, ADNOC atau mana,” kata dia.

Namun, nyatanya, perusahaan minyak dan gas asal Uni Emirat Arab itu justru tidak masuk ke Proyek Kilang Bontang. Abu Dhabi National Oil Company (ADNOC) sepakat mendalami lebih lanjut potensi pengembangan Kompleks Kilang Terintegrasi Petrokimia di Balongan, Jawa Barat. Pertamina dan Adnoc telah menandatangani nota kesepahaman pada akhir tahun lalu.

Sementara Mubadala Investment Company, perusahaan investasi keuangan dari Uni Emirat Arab (UEA), berminat menjadi investor dalam Proyek Kilang Balikpapan senilai US$ 5,5 miliar. Pertamina telah meneken perjanjian prinsip atau Refinery Investment Principle Agreement untuk mengevaluasi lebih lanjut peluang kerja sama investasi di sektor pengolahan. 

Perjanjian tersebut akan memberikan struktur yang jelas untuk memastikan kerja sama sebagai jalur menuju investasi bersama yang potensial. Tidak hanya Kilang Bontang, Pertamina juga belum memiliki kesepakatan dengan Saudi Aramco terkait kelanjutan kerja sama peningkatan kapasitas dan perbaikan (upgrading) Kilang Cilacap. 

Setelah polemik valuasi aset yang tidak kunjung usai, keduanya sepakat mengubah skema kerja sama menjadi sewa. Dalam skema ini, Pertamina akan membayar biaya sewa terhadap perusahaan patungan dengan Saudi Aramco yang membangun kilang unit baru di Komplek Kilang Cilacap. Sementara unit kilang yang saat ini sudah beroperasi tetap menjadi milik Pertamina.

“Targetnya, kami dalam maksimum satu bulan ke depan akan menyepakati leasing agreement. Dan kalau ini terjadi, maka deal itu akan terjadi, setelah itu kami akan melakukan pembangunan,” kata Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati.

Kilang Bontang dan Cilacap merupakan bagian dari enam proyek kilang yang dibangun Pertamina. Selain Kilang Bontang, proyek kilang baru lainnya yang dibangun perseroan yakni Kilang Tuban di Jawa Timur. Sementara proyek upgrading yang dikerjakan perseroan lainnya adalah di Balikapapan, Kalimantan Timur, di Balongan, Jawa Barat, dan Dumai, Riau. 

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mendorong percepat proyek kilang yang dikerjakan oleh Pertamina. Untuk proyek upgrading kilang, diharapkan sudah mulai beroperasi di periode kedua pemerintah Presiden Joko Widoro ini. Sementara proyek kilang baru setidaknya sudah mulai tahap konstruksi.

Investor Daily, Page-9, Wednesday, Feb 5, 2020

Age Well Only 9 Years Remaining



PT Pertamina EP predicts the age of the well which is currently managed by the company only for the next nine years. This means that if the company does not find new reserves, the company can no longer produce. 

Nanang Abdul Manaf

    Pertamina EP's Managing Director, Nanang Abdul Manaf explained the company needs to carry out various strategies to be able to maintain production. Moreover, when there is an old well that is currently experiencing a natural decline in production it cannot be changed.

"It means that if we don't find new reserves, we will only have 9.7 years of production life. So, we really need to discuss exploration activities to maintain production," Nanang said in Commission VII of the Central House of Representatives.

Nanang explained that for the exploration activities the company made several efforts. As this year the company will drill 12 exploration wells. But it does not stop there, the company needs to make a discovery of reserves by conducting a seismic survey and also using technology around the well operating today.

IN INDONESIA

Usia Sumur Tersisa 9 Tahun Saja

PT Pertamina EP memprediksi usia sumur yang saat ini dikelola perusahaan hanya sampai sembilan tahun ke depan. Artinya jika perusahaan tidak menemukan cadangan baru perusahaan tidak bisa lagi berproduksi. 

    Direktur Utama Pertamina EP, Nanang Abdul Manaf menjelaskan perusahaan perlu melakukan berbagai strategi untuk bisa menjaga produksi. Apalagi, disaat sumur tua yang ada saat ini penurunan alami produksi tidak bisa diubah.

"Artinya kalau kami tidak menemukan cadangan baru, maka umur produksinya tersisa 9,7 tahun saja. Maka, betul sekali kami perlu diskusi kegiatan eksplorasi untuk menjaga produksi," ujar Nanang di Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Pusat.

Nanang menjelaskan untuk kegiatan eksplorasi perusahaan melakukan beberapa upaya. Seperti pada tahun ini perusahaan akan mengebor 12 sumur eksplorasi.

    Namun tidak hanya sampai di situ, perusahaan perlu melakukan penemuan cadangan dengan melakukan survei seismik dan juga menggunakan teknologi di sekitar sumur yang beroperasi saat ini.

Harian Bangsa, Page-9, Wednesday, Feb 5, 2020

Monday, February 3, 2020

Luhut Asks for 1 Million BPD Oil Production to be Accelerated in 2025



The Coordinating Minister for Maritime Affairs and Investment Luhut Binsar Pandjaitan asked for an increase in oil production to 1 million Barrels Per Day (BPD) to be accelerated by 2025.Luhut Binsar Pandjaitan
Luhut Binsar Pandjaitan

The application of Enhanced Oil Recovery (EOR) technology can be carried out to realize the target. Luhut said, the Special Task Force for Upstream Oil and Gas Business Activities (SKK Migas) initially proposed achieving oil production of 1 million BPD by 2030. 

SKK Migas

    However, seeing the positive impact of increasing oil production in reducing energy imports, he requested that the achievement of the production target accelerated.

"We want the target of 1 million BPD to be accelerated. They say in 2030, I ask for 2025, "he said in Jakarta.

According to him, the increase in oil production can be obtained from the optimization of existing oil and gas wells using EOR technology. At present, there are 23 oil and gas wells that can be boosted by EOR oil production. On Monday (3/2), his party and SKK Migas will discuss the technical increase in oil production.

"While exploring new wells, some of the old wells can be EOR. "The potential is still large, around 1.7 billion barrels," Luhut said.

the Rokan Block 

One of the EOR activities is expected to be carried out in the Rokan Block whose contract will expire next year. When signing the new Rokan Block contract, one that was promised by PT Pertamina (Persero) was the implementation of EOR activities.

Some of these activities are an EOR study worth US $ 4 million, a stage-1 CEOR 7 pattern of US $ 247 million, and a stage-1 steam flood Kulin or Rantau Bais of US $ 88.6 million. Luhut asserted, there were no problems with the chemical formula that is still being tested in the Rokan Block by Chevron Indonesia as the current operator. He said he wanted Pertamina to conduct an EOR using the chemical formula. EOR activities he said must be carried out as quickly as possible.

PT. Chevron Pacific Indonesia (CPI)

"Let's just use the one that has Chevron, why do you keep changing it? I said earlier so that it was discussed so that it would not be long before we look for other ways, "he stressed.

Nicke Widyawati

In a meeting with the House of Representatives (DPR) last week, Pertamina President Director Nicke Widyawati revealed, EOR was one of the keys to the success of increasing oil production in the Rokan Block.

Chevron Indonesia, as the current operator, has reviewed the chemical formula that will be used in the EOR activities. However, She is concerned that she cannot use the formula that Chevron is making because there are components that are not included in the list of cost recovery investments.

"If this formula is not given to us, it will take four more years because this EOR is specific to each location. "One of the keys to the management is the EOR formula," said Nicke Widyawati.

Dwi Soetjipto

The Head of SKK Migas Dwi Soetjipto assured the results of the trial and study of the application of EOR in the Rokan Block by Chevron had been included in the state assets section because they had been funded by the state. Therefore Pertamina does not need to repeat the EOR experiment in the oil and gas block located in Riau. Not only EOR, Pertamina Upstream Director Dharmawan H Samsu said that he was asked to make innovations in order to achieve the oil production target of 1 million BPD.

"We have to be more aggressive in drilling, and the success rate is increased, if possible don't dry holes," he said.



Even now, Pertamina through Pertamina EP has also implemented EOR in Tanjung Field. The company has also signed the points of understanding between Pertamina and Repsol for full-scale management, including the implementation of surfactant-polymer EOR.

In the Jirak and Rantau Fields, Pertamina is conducting a study of the application of surfactant chemicals for the implementation of EOR in both fields. Furthermore, related to CO2 flooding, Pertamina is currently conducting studies in several fields, namely Jatibarang, Sukowati, and Ramba.

PT Pertamina Hulu Energi (PHE)

Pertamina also expanded this EOR activity to the oil and gas block managed by PT Pertamina Hulu Energi (PHE), namely in the North West Java Offshore Block, precisely in the Zulu Field and E-Main. In addition, in the near future the Batang field, which is operated by PHE Siak, will be an EOR steam flooding pilot project.

EOR activities were also promised by PT Medco E&P when signing the Rimau Block contract. Medco promises four full EOR chemical pre-injection fields, namely US $ 1.1 million in the second year, US $ 8.2 million in the third year, US $ 6.2 million in the fourth year, and the US $ 4.8 million in the fifth year.

In addition, Medco also plans for a full-field chemical EOR Phase I at the Kaji Harapan Field worth the US $ 1 million. Referring to the Ministry of Energy and Mineral Resources data, national oil lifting continues to fall.

Oil lifting reached 861 thousand BPD in 2012. However, the realization of oil lifting continued to fall to 779 thousand BPD in 2015. Lifting oil increased slightly in 2016 to 829 thousand BPD. After that, the realization of oil lifting continues to fall to 804 thousand BPD in 2017, 778 thousand BPD in 2018, and 746 thousand BPD last year.

IN INDONESIA

Luhut Minta Produksi Minyak 1 Juta BPH Dipercepat di 2025

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan meminta peningkatan produksi minyak hingga menjadi 1 juta barel per hari (bph) dipercepat pada 2025. 

Penerapan teknologi pengurasan minyak tahap lanjut (enhanced oil recovery/EOR) bisa dilakukan untuk merealisasikan target tersebut. Luhut menuturkan, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) awalnya mengusulkan pencapaian produksi minyak 1 juta bph pada 2030. Namun, melihat dampak positif dari peningkatan produksi minyak dalam memperkecil impor energi, dirinya meminta agar pencapaian target produksi itu dipercepat.

“Kami mau target 1 juta bph itu dipercepat. Mereka bilang pada 2030, saya minta 2025,” kata dia di Jakarta.

Menurutnya, peningkatan produksi minyak itu bisa diperoleh dari optimasi sumur-sumur migas eksisting dengan menggunakan teknologi EOR. Saat ini, terdapat 23 sumur migas yang dapat digenjot produksi minyaknya dengan EOR. Pada Senin (3/2) ini, pihaknya dan SKK Migas akan membahas teknis peningkatan produksi minyak ini. 

“Sambil eksplorasi sumur baru, sumur lama kan ada yang bisa EOR. Masih besar [potensinya] sekitar 1,7 miliar barel,” ujar Luhut.

Kegiatan EOR salah satunya diharapkan dapat dilakukan di Blok Rokan yang kontraknya akan berakhir pada tahun depan. Pada saat meneken kontrak baru Blok Rokan, salah satu yang dijanjikan PT Pertamina (Persero) adalah pelaksanaan kegiatan EOR. 

Beberapa kegiatan itu yakni studi EOR senilai US$ 4 juta, stage-1 CEOR 7 pattern US$ 247 juta, dan stage-1 steam flood Kulin atau Rantau Bais US$ 88,6 juta. Luhut menegaskan, sudah tidak ada masalah terkait formula zat kimia yang kini masih diuji coba di Blok Rokan oleh Chevron Indonesia selaku operator saat ini. Pihaknya menginginkan Pertamina melakukan EOR dengan menggunakan formula zat kimia tersebut. Kegiatan EOR disebutnya harus dilakukan secepat mungkin.

“Biarkan gunakan saja yang punya Chevron, buat apa diganti terus? Saya bilang tadi supaya itu dibicarakan agar tidak lama lagi cari cara lain,” tegasnya. 

Dalam rapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pekan lalu, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengungkapkan, EOR merupakan salah satu kunci keberhasilan peningkatan produksi minyak di Blok Rokan.

Chevron Indonesia, selaku operator saat ini, telah mengkaji formula zat kimia yang akan dipakai dalam kegiatan EOR tersebut. Namun, pihaknya khawatir tidak dapat menggunakan formula yang sedang dibuat Chevron lantaran terdapat komponen yang tidak masuk dalam daftar biaya investasi yang dapat dikembalikan (cost recovery). 

“Kalau formula ini tidak diberikan ke kami, maka perlu waktu empat tahun lagi karena EOR ini spesifik untuk setiap lokasi. Alih kelola ini salah satu yang menjadi kunci adalah formula EOR,” kata Nicke Widyawati.

Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto meyakinkan, hasiil uji coba dan kajian penerapan EOR di Blok Rokan oleh Chevron sudah masuk dalam bagian aset negara karena sudah dibiayai negara. Oleh karena itu Pertamina tidak perlu mengulang percobaan EOR di blok migas yang berlokasi di Riau tersebut. Tidak hanya EOR, Direktur Hulu Pertamina Dharmawan H Samsu menuturkan bahwa pihaknya diminta membuat inovasi guna mencapai target produksi minyak 1 juta bph.

“Kami harus lebih agresif dalam melakukan pengeboran, dan tingkat kesuksesannya ditingkatkan, kalau bisa jangan dry hole,” ujarnya.

Saat ini pun, Pertamina melalui Pertamina EP juga telah melaksanakan EOR di Lapangan Tanjung. Perseroan juga telah meneken pokok-pokok kesepahaman antara Pertamina dan Repsol untuk pengelolaan full scale tersebut, termasuk implementasi EOR surfaktan-polimer. 

Di Lapangan Jirak dan Rantau, Pertamina sedang melakukan studi aplikasi zat kimia surfaktan untuk implementasi EOR di kedua lapangan ini. Selanjutnya, terkait dengan CO2 flooding, Pertamina saat ini sedang melakukan studi di beberapa lapangan yaitu Jatibarang, Sukowati dan Ramba. 

Pertamina juga memperluas kegiatan EOR ini ke blok migas yang dikelola PT Pertamina Hulu Energi (PHE), yakni di Blok Offshore North West Java, tepatnya di Lapangan Zulu dan E-Main. Selain itu, di lapangan Batang yang dioperasikan oleh PHE Siak dalam waktu dekat akan dilakukan pilot project EOR steam flooding.

Kegiatan EOR juga dijanjikan PT Medco E&P ketika menandatangani kontrak Blok Rimau. Medco menjanjikan empat pre injection full field chemical EOR, yakni senilai US$ 1,1 juta pada tahun kedua, US$ 8,2 juta pada tahun ketiga, US$ 6,2 juta pada tahun keempat, dan US$ 4,8 juta pada tahun kelima. 

Selain itu, Medco juga merencanakan Fase-I full field chemical EOR di Lapangan Kaji Semoga senilai US$ 1 juta. Mengacu data Kementerian ESDM, lifting minyak nasional terus turun. 

Lifting minyak sempat mencapai 861 ribu bph pada 2012. Namun, realisasi lifting minyak ini terus turun menjadi 779 ribu bph pada 2015. Lifting minyak kembali naik sedikit pada 2016 menjadi 829 ribu bph. Setelah itu, realisasi lifting minyak terus turun menjadi 804 ribu bph pada 2017, 778 ribu bph pada 2018, dan 746 ribu bph pada tahun lalu.

Investor Daily, Page-9, Monday, Feb 3, 2020

February, Cilacap Refinery Agreement Targets Complete



PT Pertamina (Persero) is targeting an agreement with Saudi Aramco regarding the Cilacap Refinery to be completed within the next month. The construction of the refinery project will also be accelerated until it only takes three years.

Nicke Widyawati

Pertamina President Director Nicke Widyawati said that his party and Saudi Aramco had agreed to change the cooperation scheme in the work of the Cilacap Refinery Project. The project will be carried out with the same scheme used in the Balikpapan Refinery Project, which is rent.



Under this scheme, Pertamina will pay the rental fees for the joint venture with Saudi Aramco which is building a new refinery unit at the Cilacap Refinery Complex. While the refinery unit which is currently in operation remains the property of Pertamina. Because there is no asset spin-off, there is no need for an existing asset valuation agreement.

"The target is that we will agree to a leasing agreement within the next one month. And if this happens, then the deal will happen, after that, we will carry out development, "said Nicke Widyawati in Jakarta.

Nicke Widyawati

Nicke Widyawati explained that the change in the scheme was because the two state-owned oil and gas companies did not immediately reach an agreement on the valuation of the existing refinery assets. 

     Until the last discussion, the difference between the valuations calculated by Pertamina and Saudi Aramco was still large. On the other hand, Pertamina has a book value as a minimum limit to release (spin-off) assets.

"This offered by Saudi Aramco is far lower than the book value. If this is done, there will be a loss, so it can't be. We have told Saudi Aramco that there is a limit on book value as a minimum, "said Nicke.

This consideration is only in terms of the fiscal value of the Cilacap Refinery. In terms of fuel production, the Cilacap refinery currently produces more than 30% of total national fuel production. Therefore it cannot release the refinery assets below book value as offered by Saudi Aramco.



Under the new scheme, the Pertamina-Saudi joint venture Aramco will build a new refinery unit. Later this new unit will increase the capacity of the Cilacap Refinery from the current 349 thousand Barrels Per Day (BPD) to 400 thousand BPD. If there is still no agreement with Saudi Aramco, it will work on the refinery project and will look for new partners when the development process is already underway.

"If Aramco does not agree, we will continue on our own," said Nicke.

It also seeks to speed up the construction of the Cilacap Refinery, which normally takes four years. One of them will combine the detailed contract design (front end engineering design / FEED) and engineering, procurement, and construction (engineering, procurement, and construction / EPC). This has been done by the company for the Balongan Refinery Project.

"With this mechanism, we can accelerate [the construction period] by 14 months. We propose this to our partners [in the refinery project], "said Nicke.

The Cilacap refinery is targeted to start operating in 2025. After upgrading, there will be an additional production of 80 thousand BPD of gasoline, 60 thousand BPD of diesel fuel, and aviation fuel of 40 thousand BPD. Fuel production increased significantly because the ability of refineries to process crude oil into ready-to-sell products (NCI) rose from 74% to 92-98%.

IN INDONESIA

Februari, Kesepakatan Kilang Cilacap Ditargetkan Rampung

PT Pertamina (Persero) menargetkan kesepakatan dengan Saudi Aramco terkait Kilang Cilacap dapat rampung dalam satu bulan ke depan. Konstruksi proyek kilang ini juga akan dipercepat hingga hanya memerlukan waktu tiga tahun. 

Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, pihaknya dan Saudi Aramco telah menyepakati perubahan skema kerja sama dalam pengerjaan Proyek Kilang Cilacap. Proyek tersebut akan dikerjakan dengan skema yang sama yang dipakai di Proyek Kilang Balikpapan, yakni sewa. 

Dalam skema ini Pertamina akan membayar biaya sewa terhadap perusahaan patungan dengan Saudi Aramco yang membangun kilang unit baru di Komplek Kilang Cilacap. Sementara unit kilang yang saat ini sudah beroperasi tetap menjadi milik Pertamina. Lantaran tidak ada spin off aset, maka tidak perlu ada kesepakatan valuasi aset yang ada.

“Targetnya, kami dalam maksimum satu bulan ke depan akan menyepakati leasing agreement. Dan kalau ini terjadi, maka deal itu akan terjadi, setelah itu kami akan melakukan pembangunan,” kata Nicke Widyawati di Jakarta.

Nicke Widyawati menjelaskan, perubahan skema ini lantaran kedua perusahaan minyak dan gas milik negera ini tidak segera mencapai kesepakatan valuasi aset kilang eksisting. Hingga diskusi terakhir, selisih antara valuasi yang dihitung Pertamina dan Saudi Aramco masih sabgar besar. Di sisi lain Pertamina memiliki nilai buku sebagai batas minimum untuk melepas (spin off) aset.

“Ini yang ditawar oleh Saudi Aramco jauh lebih rendah dari nilai buku. Kalau ini dilakukan, maka akan ada kerugian, jadi tidak bisa. Kami sudah sampaikan ke Saudi Aramco bahwa ada batasan nilai buku sebagai batasan minimal,” papar Nicke.

Pertimbangan itu hanya dari sisi nilai fiskal Kilang Cilacap. Dari sisi produksi bahan bakar minyak (BBM), Kilang Cilacap saat ini memproduksi lebih dari 30% dari total produksi BBM nasional. Karenanya pihaknya tidak bisa melepas aset kilang di bawah nilai buku seperti yang ditawar Saudi Aramco. 

Pada skema baru, perusahaan patungan Pertamina-Saudi Aramco akan membangun kilang unit baru. Nantinya unit baru ini akan menambah kapasitas Kilang Cilacap dari saat ini 349 ribu barel per hari (bph) menjadi 400 ribu bph. Jika tetap tidak ada kesepakatan dengan Saudi Aramco, pihaknya akan menggarap proyek kilang ini dan akan mencari mitra baru saat proses pengembangan sudah berlangsung.

“Kalau Aramco tidak setuju, kami lanjut sendiri,” tegas Nicke.

Pihaknya juga berupaya mempercepat konstruksi Kilang Cilacap yang biasanya membutuhkan waktu empat tahun. Salah satunya pihaknya akan menggabungkan kontrak desain rinci (front end engineering design/FEED) dan rekayasa, pengadaan, dan konsturksi (engineering, procurement, and construction/EPC). Hal ini sudah dilakukan perseroan untuk Proyek Kilang Balongan.

“Dengan mekanisme ini, kami bisa percepat [masa konstruksi] 14 bulan. Ini kami propose ke partner-partner kami [dalam proyek kilang],” ujar Nicke. 

Kilang Cilacap ditargetkan mulai beroperasi pada 2025. Pasca upgrading, akan ada tambahan produksi bensin (gasoline) 80 ribu bph, solar 60 ribu bph, dan avtur 40 ribu bph. Produksi bahan bakar naik signifikan karena kemampuan kilang mengolah minyak mentah menjadi produk siap jual (NCI) naik dari 74% menjadi 92-98%.

Investor Daily, Page-9, Monday, Feb 3, 2020

Saturday, February 1, 2020

Exploration Begins in 2023



The Sakakemang Block owned by Repsol, an oil and gas company from Spain, operates in Musi Banyuasin Regency, South Sumatra, and is confirmed to be operating the fastest in 2023. 

Dodi Reza Alex

    Musi Banyuasin Regent Dodi Reza Alex said Repsol's plan to exploit gas reserves in the block was classified as fast. The reason is only 5 years after the discovery of gas sources in the District of Bayung Lencir in February 2019.

Saka Kemang Block

"The latest information that we have received has not changed. Repsol will begin exploration in 2023 or no later than 2024, "he said.

Repsol

Dodi said that currently, Repsol is still conducting a number of explorations around the discovery of gas in the Kaliberau 2 Well to further ensure the amount of gas content in the region. The plan is that Repsol will utilize existing lines to make corridor blocks like the oil and gas drilling process.

 "The Regency Government is very supportive of the steps taken by Repsol, and sincerely hopes exploration will soon materialize," he said.

The discovery of new gas reserves in the Kaliberau 2 Well (KBD2X) Sakakemang Block is said to be the fourth largest discovery in the world in the period 2018-2019. The KBD2X well in the Sakakemang Block is estimated to have a potential of approximately 2 Tcf (trillion cubic feet), or to be the best finding in oil and gas exploration in Indonesia within 18 years.

This discovery was made thanks to Repsol's decision to drill the 2nd inside the Sakakemang Block on August 20, 2018, with the help of two other consortium members, namely Petronas and Mitsui Oil Exploration.

Repsol work in the Sakakemang working area can be carried out after the company succeeded in purchasing the previous operator, Talisman, in 2015. The Repsol second exploration well in the Sakakemang Block has located about 60 km from the Suban giant gas field, Musi Banyuasin. In early February 2019,
Repsol then discovered the potential for gas reserves at a depth of 2,430 MD.

"The success of KBD2X will open exploration from South Sumatra to Central Sumatra," said Dodi.

In the near future, Dodi said that the Regency Government will coordinate with SKK Migas to make a road map for developing energy potential in Musi Banyuasin. The Regional Government hopes that Repsol can immediately produce and empower local residents according to their fields and expertise.

IN INDONESIA

Eksplorasi Mulai 2023

Blok Sakakemang milik Repsol perusahaan minyak dan gas yang berasal dari Spanyol beroperasi di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatra Selatan dipastikan beroperasi paling cepat pada 2023. Bupati Musi Banyuasin Dodi Reza Alex mengatakan rencana Repsol untuk mengeksploitasi cadangan gas di blok itu tergolong cepat. Pasalnya hanya 5 tahun setelah penemuan sumber gas di Kecamatan Bayung Lencir tersebut pada Februari 2019. 

“Informasi terbaru yang kami terima tidak ada perubahan. Repsol akan memulai eksplorasi pada 2023 atau paling lambat 2024,” katanya.

Dodi mengatakan saat ini Repsol masih masih melakukan sejumlah eksplorasi di sekitar penemuan gas di Sumur Kaliberau 2 untuk semakin menyakinkan jumlah kandungan gas di kawasan tersebut. Rencananya, Repsol akan memanfaatkan jalur yang sudah ada (eksisting] untuk membuat blok koridor seperti pada umumnya proses pengeboran migas.

 “Pemerintah Kabupaten sangat mendukung langkah-langkah yang ditempuh Repsol, dan sangat berharap eksplorasi segera terwujud," ujarnya.

Penemuan cadangan gas baru di Sumur Kaliberau 2 (KBD2X) Blok Sakakemang disebut-sebut sebagai penemuan terbesar ke empat di dunia pada periode 2018-2019. Sumur KBD2X di Blok Sakakemang itu diperkirakan memiliki potensi kurang lebih 2 Tcf (trillion cubic feet), atau menjadi temuan terbaik dalam eksplorasi minyak dan gas di Indonesia dalam kurun waktu 18 tahun. 

Penemuan ini berkat keputusan Repsol melakukan pengeboran ke-2 di dalam Blok Sakakemang pada 20 Agustus 2018 dengan dibantu dua anggota konsorsium lainnya, yakni Petronas dan Mitsui Oil Exploration.

Pengerjaan Repsol di wilayah kerja Sakakemang ini dapat dilakukan setelah perusahaan tersebut berhasil membeli operator sebelumnya, Talisman, pada 2015. Sumur eksplorasi kedua Repsol di Blok Sakakemang ini berlokasi sekitar 60 km dari lapangan gas raksasa Suban, Musi Banyuasin. Pada awal Februari 2019, Repsol kemudian menemukan potensi cadangan gas pada kedalaman sumur 2.430 MD.

“Keberhasilan surnur KBD2X akan membuka eksplorasi dari Sumatra Selatan hingga ke Sumatra bagian Tengah,” kata Dodi.

Dalam waktu dekat, Dodi mengatakan Pemerintah Kabupaten akan berkoordinasi dengan SKK Migas untuk membuat peta jalan pengembangan potensi energi di Musi Banyuasin. Pemerintah Daerah berharap Repsol dapat segera berproduksi dan memberdayakan warga sekitar sesuai bidang dan keahliannya.

Bisnis Indonesia, Page-12, Saturday, Feb 1, 2020

Unexpected Masela



The twists and turns of managing the Masela Block off the coast of Maluku, according to Japanese businessmen, really made them never guessed before. What is far beyond expectations is the length of government decisions regarding the gas management model. Discovered since 1998, the Masela Block gas was just decided to be managed on land in 2016.

the Masela Block

That was one of the points delivered by The Jakarta Japan Club (JJC) President Kanji Tojo at a press conference in Jakarta last week. JJC is an association representing the commercial and industrial sectors of Japan. They conveyed a number of recommendations in the economic field to the Government of Indonesia, Masela Block was indeed filled with unexpected things.

The Jakarta Japan Club (JJC) President Kanji Tojo

There is a tug of war between the two camps, the one that believes that gas is more efficiently managed in the high seas (floating refineries in the gas source area) and the one that advocates for gas treatment on land which has lower costs. All were adamant with each other's arguments.

Inpex Corporation

In September 2015, Inpex Corporation and Shell submitted a management plan (POD) for the Masela Block at sea with an investment of 14 billion US dollars or 5 billion US dollars cheaper than the value of development on the land.

Shell

The Special Task Force for Upstream Oil and Gas Business Activities (SKK Migas) also suggested the same thing. Because there are still strong conflicts of interest between land and at sea, the government invites independent consultants to provide input.

SKK Migas

The result is the same, Recommendations that came out at the end of 2015 were gas processed in the high seas. But a surprising thing happened in March 2016. 

The President Joko Widodo

     At a press conference at the airport, President Joko Widodo announced the attitude that the government wanted to develop gas on land so as to demand changes or revisions to the POD. This change certainly requires a new study. The production plan that was originally realized in 2024 was delayed to the fastest in 2027.

The estimated investment will be 19.8 billion US dollars or more expensive than originally proposed. What lessons can be drawn from that? He said the government wanted to attract as much foreign investment as possible by trying to reform the bureaucracy.

Rules that are seen as holding back revoked or canceled. Unfortunately, that has not made Indonesia an attractive country for investment.

The United States trade war with China

Dozens of companies that shifted their industrial locations due to the United States trade war with China did not enter Indonesia. They are more interested in other countries in Southeast Asia.

JJC gave some recommendations. Improving the investment climate in Indonesia is their first recommendation. Some points included in this recommendation are the need for transparency regarding taxation and fiscal. In addition, the business world needs consistency of policies made by the government.

     Further about policy consistency is the statement of a number of different government officials for the same thing. For investors, this is confusing. Which words can he hold? I guess so. Similar to the story of the Masela Block, when relevant ministries and technical institutions recommend the management of gas at sea, the decision in the future is on land.

Indonesia's upstream oil and gas industry is still full of twists and turns. Hundreds of licenses, more than 300 licenses, must be managed by investors, starting with licenses at the central to regional levels.

The accumulation of permits is not accompanied by clarity when it is finished. The government has improved. As many as 56 licenses within the Ministry of Energy and Mineral Resources, for example, were revoked or canceled because they were considered to hamper investment.

SKK Migas recently launched a one-stop service policy that promised to accelerate and simplify the bureaucracy within 3 days. One is needed, consistency over the improvement.

IN INDONESIA

Masela yang Tidak Terduga 

Lika-liku pengelolaan Blok Masela di lepas pantai Maluku, menurut para pengusaha Jepang, betul-betul membuat mereka tak pernah menduga sebelumnya. Hal yang jauh di luar dugaan adalah begitu lamanya keputusan pemerintah menyangkut model pengelolaan gas. Ditemukan sejak 1998, gas Blok Masela baru saja diputuskan untuk dikelola di darat pada 2016.

Demikian salah satu poin yang disampaikan Presiden The Jakarta Japan Club (JJC) Kanji Tojo dalam konferensi pers di Jakarta, pekan lalu. JJC merupakan perkumpulan yang mewakili sektor komersial dan industri dari Jepang. Mereka menyampaikan sejumlah rekomendasi di bidang perekonomian kepada Pemerintah Indonesia Blok Masela memang dipenuhi oleh hal-hal yang tidak terduga. 

Ada tarik-menarik kuat antara dua kubu, yaitu kubu yang berpendapat bahwa gas lebih efisien dikelola di laut lepas (kilang terapung di area sumber gas) dan kubu yang menganjurkan gas diolah di darat yang beralasan ongkosnya lebih murah. Semua bersikukuh dengan argumen masing-masing.

Pada September 2015, Inpex Corporation dan Shell mengajukan rencana pengelolaan (POD) Blok Masela di laut dengan nilai investasi 14 miliar dollar AS atau 5 miliar dollar AS lebih murah dibandingkan nilai pengembangan di darat. 

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) juga menyarankan hal yang sama. Lantaran adanya konflik kepentingan antara di darat dan di laut masih kuat, pemerintah mengundang konsultan independen untuk memberi masukan.

Hasilnya sama, Rekomendasi yang keluar pada akhir 2015 adalah gas diolah di laut lepas. Namun hal yang mengejutkan terjadi pada Maret 2016. Pada sebuah konferensi pers di bandara, Presiden Joko Widodo mengumumkan sikap bahwa pemerintah ingin pengembangan gas di darat sehingga menuntut perubahan atau revisi POD. Perubahan itu tentu saja memerlukan kajian baru. Rencana produksi yang semula bisa diwujudkan pada 2024 tertunda menjadi paling cepat tahun 2027.

Estimasi investasinya menjadi 19,8 miliar dollar AS atau lebih mahal dari yang diusulkan semula. Pelajaran apa yang bisa diambil dari hal itu? Katanya, pemerintah ingin menggaet investasi asing sebanyak-banyaknya dengan berusaha mereformasi birokrasi. 

Aturan yang dipandang menghambat dicabut atau dibatalkan. Sayangnya hal itu belum membuat Indonesia menjadi negara yang menarik untuk berinvestasi. 

Puluhan perusahaan yang mengalihkan lokasi industri mereka akibat perang dagang Amerika Serikat dengan China tidak satu pun yang masuk ke Indonesia. Mereka lebih tertarik dengan negara lain di Asia Tenggara.

JJC memberikan beberapa rekomendasinya. Perbaikan iklim investasi di Indonesia adalah rekomendasi pertama mereka. Beberapa poin yang masuk dalam rekomendasi ini adalah perlunya transparansi tentang perpajakan dan fiskal. Selain itu, dunia usaha membutuhkan konsistensi kebijakan yang dibuat pemerintah. 

Lebih jauh tentang konsistensi kebijakan adalah pernyataan sejumlah pejabat pemerintah yang berbeda-beda untuk hal yang sama. Bagi investor, ini hal membingungkan. Yang mana yang bisa dipegang ucapannya? Begitu kira-kira. Mirip dengan kisah Blok Masela, ketika kementerian dan institusi teknis terkait merekomendasikan pengelolaan gas di laut, keputusan di kemudian hari adalah di darat.

Industri hulu migas Indonesia memang masih penuh liku. Ratusan perizinan, lebih dari 300 izin, harus diurus investor, mulai perizinan di tingkat pusat sampai daerah. 

Bertumpuknya izin itu tidak disertai kejelasan kapan selesainya. Pemerintah memang sudah berbenah. Sebanyak 56 perizinan di lingkungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, misalnya dicabut atau dibatalkan karena dianggap menghambat investasi. 

SKK Migas beberapa waktu lalu juga meluncurkan kebijakan layanan satu pintu yang menjanjikan percepatan dan penyederhanaan birokrasi dalam waktu 3 hari. Satu yang diperlukan, konsistensi atas pembenahan tersebut.

Kompas, Page-13, Wednesday, Jan 29, 2020