There are several oil and gas blocks that are running out of contract. The government commissioned PT Pertamina to take over the blocks with which the contract was completed. However, the blocks are considered uneconomical if using a gross split share scheme. This is the reason for the Ministry of Energy and Mineral Resources to revise the Minister of Energy and Mineral Resources Regulation no. 8/2017 on the Gross Split Revenue Contract.
The 7 month old rule is currently in the revision phase. In the course of this, the new scheme aimed at boosting efficiency gets red notes from business actors as it is considered to be no more attractive than the current contract of cooperation, the cost recovery (PSC) production cost contract.
When the new Offshore Nonh West Java Offshore Block (ONWJ) was signed on January 18, 2017, the government stated that the eight blocks out of contract in 2017 and 2018 were assigned to Pertamina using a gross split scheme.
Following the signing of the contract, the ONWJ Block operator, which became the first working area with a split gloss scheme, proposed an additional share of profit sharing because there was still a cost burden that had not yet been accounted for in the revenue share. From 57.5 percent, oil shares rose to 73.5 percent and gas from 625 percent to 81 percent.
Profit sharing up to the end of 2017 is also obtained by PT Pertamina Hulu Energi ONWJ, operator of ONWJ Block, with the additional assumption of 5% EMR Minister's discretion due to the declining field economy, profit sharing factor of 5% oil price and 7.5% , while the cumulative factor of production is 3% for oil and gas.
Additional revenue sharing has not yet accommodated the realization of the use of local goods / services products and the tax burden due to tax breaks on gross splits yet to be published. President Director of Pertamina Upstream Energi Gunung Sardjono Hadi said that ONWJ Block no longer follows the new provisions in the revision of Regulation of Minister of Energy and Mineral Resources No. 8/2017 targeted published this month. According to him, the new beleid accommodating several changes will be applied to the block of contracts including those assigned to Pertamina.
Since the end of July, Pertamina has proposed incentives on new contracts in the eight blocks of contracts that it plans to sign in May 2017. Lack of space to gain profit in managing the block has finally made the signing of the contract null and void. Thus, the government revised the Regulation of the Minister of ESDM even though it has only been running for 7 months.
"For ONWJ already done no longer applied revision of Ministerial Regulation 8/2017. For the termination of new blocks 2018 onwards will use revision of Minister of Energy and Mineral Resources Regulation no. 8/2017, "he said.
Earlier, Deputy Minister of Energy and Mineral Resources Arcandra Tahar only mentioned that the beleid revision refers to the proposed business actors and because currently there is still a new work area offering. In fact, since a few weeks after the rule was issued, business actors have proposed suggestions on the new provisions.
MORE BETTER
He calls on the gross split this time, the contractor will get the field economy seen from the same internal rate of return (IRR) is even better and the cost recovery scheme. In addition, the investment calculated from the current (net present value / NPV) is also guaranteed to be the same and better than the current block.
He believes that it can be achieved because the reference data originally only taken from 10 field has been added to 22 existing field. In the meantime, for its application obligations on all new contracts the new green fields as well as the brown fields expired are unchanged.
Upstream Director of Pertamina Syamsu Alam said that until now it is still discussing a new contract for the block that will move to Pertamina. Challenges in the development of blocks with old fields aged over 30 years ie rapid rate of decline in production. Thus, it prioritizes the production of eight blocks are maintained.
"The challenge is definitely everything is mature fields so the main concentration is reducing decline [production] through the selection of methods and technologies that are effective and efficient," he said.
Analyst Hulu Wood Mackenzie Johan Utama said that the gross split scheme requires contractors to make efficiency so that the upstream oil and gas business can remain anchored. Further cost cuts will be faced with operator activities in the field in order to keep the safety aspects in line with existing regulations.
On the other hand, efforts to maintain production cost high so there is a chance that some fields can not be maintained because the production is too expensive. Steps to turn off or off the field will result in reduced production.
"When this happens, the fields will be turned off or disabled sooner and we will see a decline in production
which is faster, "he said.
The crucial point of managing the block-out of the contract, at the time of the decision and signing of the new contract, the time that is too narrow will make the contractor more difficult to set aside the budget. Legally, the new contractor has not been able to make an effort to slow down the rate of production decline if the new contract has not been signed.
In fact, the management of blocks older than 30 years requires a large cost because they have to achieve certain production targets. Moreover, there is a cost burden for post-operational obligations at the end of the contract to be borne.
IN INDONESIA
Gross Split Semakin Terjepit
Ada beberapa blok minyak dan gas bumi yang segera habis kontraknya. Pemerintah menugaskan PT Pertamina untuk mengambil alih blok-blok yang kontraknya sudah selesai tersebut. Namun, blok-blok tersebut dinilai tidak ekonomis jika menggunakan skema bagi hasil kotor atau gross split. Hal itu yang menjadi alasan Kementerian ESDM merevisi Peraturan Menteri ESDM No. 8/2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split.
Peraturan yang hanya berumur 7 bulan itu saat ini dalam tahap revisi. Dalam perjalanannya, skema baru yang bertujuan untuk mendorong efisiensi itu mendapat catatan merah dari pelaku usaha karena dianggap tidak lebih menarik dari kontrak kerja sama yang berlaku saat ini, yakni kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) pengembalian biaya operasi [cost recovery).
Pada saat kontrak baru Blok Offshore Nonh West Java (ONWJ) diteken pada 18 Januari 2017, pemerintah pun menyatakan bahwa delapan blok yang habis kontraknya pada 2017 dan 2018 ditugaskan kepada Pertamina dengan menggunakan skema gross split.
Setelah penandatanganan kontrak, operator Blok ONWJ yang menjadi wilayah kerja pertama dengan skema gloss split, mengajukan penambahan porsi bagi hasil karena masih terdapat beban biaya yang belum diperhitungkan dalam porsi bagi hasil. Dari semula bagi hasil minyak 57,5% naik menjadi 73.5% dan gas 625% menjadi 81%.
Bagi hasil yang berlaku hingga akhir 2017 ini pun diperoleh PT Pertamina Hulu Energi ONWJ, operator Blok ONWJ, dengan asumsi tambahan dari diskresi Menteri ESDM sebesar 5% karena keekonomian lapangan turun, faktor bagi hasil progresif dari harga minyak 5% dan gas 7,5%, sedangkan faktor kumulatif produksi sebesar 3% untuk minyak serta gas.
Tambahan bagi hasil belum mengakomodasi realisasi penggunaan produk barang/jasa lokal dan beban pajak karena beleid perpajakan tentang gross split belum terbit. Presiden Direktur Pertamina Hulu Energi Gunung Sardjono Hadi mengatakan bahwa Blok ONWJ tidak lagi mengikuti ketentuan yang baru pada revisi Peraturan Menteri ESDM No. 8/2017 yang ditarget diterbitkan bulan ini. Menurutnya, beleid baru yang mengakomodasi beberapa perubahan akan diterapkan pada blok habis kontrak termasuk yang ditugaskan kepada Pertamina.
Sejak akhir Juli, Pertamina telah mengusulkan insentif pada kontrak baru di delapan blok habis kontrak tersebut yang rencananya bisa diteken pada Mei 2017. Kurangnya ruang untuk mendapatkan keuntungan dalam mengelola blok tersebut akhirnya membuat penandatanganan kontrak batal dilakukan. Dengan demikian, pemerintah melakukan revisi Peraturan Menteri ESDM meski baru saja berjalan 7 bulan.
“Untuk ONWJ sudah done tidak lagi diterapkan revisi Peraturan Menteri 8/2017. Untuk terminasi blok baru tahun 2018 dan seterusnya akan menggunakan revisi Peraturan Menteri ESDM No. 8/2017,” ujarnya.
Sebelumnya, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar hanya menyebut bahwa revisi beleid mengacu pada usulan pelaku usaha dan karena saat ini masih berlangsung penawaran wilayah kerja baru. Padahal, sejak beberapa pekan setelah aturan itu terbit, pelaku usaha telah mengusulkan saran terhadap ketentuan baru itu.
LEBIH BAIK
Dia menyebut pada gross split kali ini, kontraktor akan mendapatkan keekonomian lapangan yang dilihat dari angka pengembalian investasi (internal rate of return/IRR) yang sama bahkan lebih baik dan skema cost recovery. Selain itu, investasi yang dihitung dari angka saat ini (net present value/NPV) juga dijamin akan sama dan lebih baik dari blok yang ada saat ini.
Dia meyakini bahwa hal itu bisa tercapai karena acuan data yang semula hanya diambil dari 10 lapangan telah ditambah menjadi 22 lapangan yang ada. Sementara itu untuk kewajiban penerapannya pada semua kontrak baru baik wilayah kerja baru (green fields) juga wilayah kerja yang habis kontrak [brown fields) tidak berubah.
Direktur Hulu Pertamina Syamsu Alam mengatakan bahwa hingga saat ini pihaknya masih membahas kontrak baru untuk blok yang akan beralih ke Pertamina. Tantangan dalam pengembangan blok dengan lapangan tua berusia lebih dari 30 tahun yakni cepatnya laju penurunan produksi. Dengan demikian, pihaknya mengutamakan agar produksi delapan blok tersebut tetap terjaga.
“Tantangannya sudah pasti semuanya adalah mature fields [lapangan tua] sehingga konsentrasi utamanya adalah mengurangi decline [penurunan] produksi melalui pemilihan metode maupun teknologi yang efektif dan efisien," katanya
Analis Hulu Wood Mackenzie Johan Utama mengatakan bahwa skema gross split menuntut kontraktor untuk melakukan efisiensi agar pengusahaan hulu migas bisa tetap mengumungkan. Pemangkasan biaya selanjutnya akan dihadapkan dengan kegiatan operator di lapangan agar bisa tetap menjaga aspek keselamatan sesuai dengan regulasi yang ada.
Di sisi lain, upaya untuk menjaga produksi membutuhkan biaya tinggi sehingga terdapat peluang beberapa lapangan tidak bisa dijaga produksinya karena terlalu mahal biayanya. Langkah untuk mematikan atau menonaktitkan lapangan akan mengakibatkan menurunnya produksi.
“Bila ini terjadi, lapangan-lapangan tersebut akan dimatikan atau dinonaktifkan lebih cepat dan kita akan melihat penurunan produksi
yang lebih cepat,” katanya.
Titik krusial pengelolaan blok habis kontrak, pada waktu keputusan dan penandatanganan kontrak baru, waktu yang terlalu sempit akan membuat kontraktor semakin sulit untuk menyisihkan anggaran. Secara legal, kontraktor baru belum bisa melakukan upaya pelambatan laju penurunan produksi bila kontrak baru belum diteken. Padahal, pengelolaan blok berusia lebih dari 30 tahun membutuhkan ongkos besar karena harus mencapai target produksi tertentu. Terlebih, terdapat beban biaya untuk kewajiban pasca operasi pada masa akhir kontrak yang harus ditanggung.
Bisnis Indonesia, Page-32, Monday, August 28, 2017